Part I : Penembakan
“Boleh pacaran?” entah seperti sebuah pernyataan atau pertanyaan, yang jelas lelaki yang duduk di hadapan gue sekarang ini sedang meminta sebuah jawaban atau kesanggupan.
Namanya Bono, lengkapnya Bono Prawira. Panggilannya Bonbon, lucu sih cuman kayaknya gak macho gitu padahal dia ketua Mapala tingkat kampus, orang gila yang hobi banget manjat, entah manjat pohon, manjat tebing, manjat tiang, manjat gunung eh maaf nanjak itu bahkan manjat hati gue sekarang ini duh kata-kata gue mulai menjijikkan.
Anaknya enggak terlalu tinggi, sekitar 173cm dengan kulit yang benar-benar well done, iya matang bolak balik bahkan gue gak bakal sadar cowok keling sempurna di hadapan gue ini keturunan Jawa Tengah kalau dia enggak cerita orang tuanya berasal dari Solo.
Sebelum lanjut gue ngenalin diri gue dulu ya, sedikit narsis cuman biar kita kenal aja. Sebagai pembaca harus tahu dong siapa tokoh utamanya. Iya gue, nama gue Mona Beldan. Beldan nama keluarga gue dan memang pengejaannya agak mirip sama well done ya, gue jadi merasa mulai ada kemiripan sama Bono. Dengan rambut panjang yang sering gue iket, badan kayak malnutrisi dan baju gombrong seakan menyadarkan kalian bahwa tokoh utama kali ini berasal dari kalangan biasa saja dan lumrah ditemui di kampus-kampus terdekat. Kerjaan gue kalau enggak jadi Kupu-Kupu (Kuliah Pulang) ya sesekali diajakin nongkrong sama alien sejenis. Ya, gue ada golongan unfaedah di kampus yang cuman menuhin bangku depan yang umumnya dihindarin sama teman-teman berfaedah.
Nah bagaimana hubungan Bono dan gue ini, kita sekelas pas tingkat satu dan pernah satu FGD a.k.a Forum Group Discussion dalam salah satu mata kuliah, selain itu terlibat dalam kerja kelompok dimana kerjaan gue nyamperin maniak manjat ini di basecamp Mapala. Duduk nongkrongin Bono turun dari kegiatan manjat-manjatnya, gue sesetia itu? iya demi minta tugas. Entah kenapa anak-anak lain selalu muji si Bono ini sebagai mahasiswa proaktif yang selalu menyerahkan tugasnya sebelum deadline, sedangkan sama gue kayaknya dead beneran.
Setelah itu? nothing, gue balik asik sama kehidupan absurd nan unfaedah gue dan dia masih asik berkecimpung sana sini sampe gue mikir itu manusia makan apaan energinya gak abis-abis.
Balik ke realitas, gue memiringkan sedikit kepala, memeriksa dahi sendiri dan mencubit lengan. Reaksi Bono? ketawa sekencengnya.
Yah, menurut gue ini adalah tindakan preventive untuk menghindari kehaluan yang terjadi. Bukan sekedar mimpi.
“Kenapa?” satu kata yang keluar dan gue bingung
“ya gak papa, siapa tahu kita seirama”
Saat ini kita duduk bersimpuh menikmati danau kampus dengan semilir angin, Bono makan siomay yang wanginya menguar kemana-mana dan gue duduk dengan buku manajemen terbuka sambil megangin perut. Tiba-tiba lapar.
Kalau bisa dibilang sih enggak ada salahnya kencan sama ketua Mapala ini, meski kelewat well done tapi gue masih bisa menemukan sisa-sisa kegantengan (sambil berusaha berfikir positif). Gue juga lagi gak sibuk biasanya juga emang gak ngapa-ngapain sih.
“oke” sesantai itu sembari megangin perut, kali ini gue bener-bener laper sampe kepala. Dia tersenyum, mengusap kepala gue lalu pergi. Minimal dia kasih gue makan gitu, dari sini gue paham dia enggak peka.
Part II : Awal Pacaran
“Gue jemput monmon” sebaris teks muncul di layar handphone, tulisannya sih Bono, tapi semenjak kapan nama gue jadi monmon, gue jadi merasa adalagi kesamaan sama dia.
“ngapain? gue punya motor” balas gue singkat dan beberapa menit kemudian terdengar teriakan monmon dari luar rumah. Lah si Bono tahu rumah gue?
“Tahu rumah gue darimana?” sekiranya itulah sambutan awal gue ke dia yang bersiap melepaskan helm
“minimal kalau pacarnya dateng, digelarin karpet merahlah” candanya, gue pun ngeloyor pergi
“eh mau kemana?”
“ambil air, mau ngerukiyah elu” seru gue dia pun tertawa kencang.
Secepat itu dia tahu rumah gue, secepat itu juga dia akrab dengan nyokap gue yang emang gaulnya kelewatan.
Di motor pun kita saling ledek-ledekan, gue enggak paham darimana datangnya candaan dan kalimat kita yang saling bersambung. Yang jelas gue baru tahu dia nyambung sama alien.
“jadi lu lagi di Tebet, jemput gue di Bekasi?” tanya gue ketika raungan skuter matic istimewa mengendor dan gue turun. Kita udah sampe kampus. Bono mengangguk mantap.
“gilak lu, mubazir banget bensinnya. Mending uang bensinnya elu kasih gue buat ngehedon” dan dia menaikkan alis. Apakah dia enggak tahu dunia per-cuan-nan gue sudah dikenal oleh orang terdekat.
“gue juga jemput lu kalau sempet aja. Kalau enggak lu naik motor sendiri” sahutnya, gue mengangguk takzim
“minimal kalau lu jemput gue berangkatnya, pulang gak bisa anter. Ongkosin gue lah” jawab gue dan dia hanya mendelik geli
Kita berpisah di parkiran untuk masuk kelas masing-masing. Gue sih yang masuk kelas, Bono yang udah beda kelas pergi ke basecamp Mapala.
“maksi bareng, kuylah” sebaris chat macem ngajakin mabar, anak ini barbar juga enggak ada romantisnya kayak di film-film Korea yang sering gue tonton
“traktirlah, kuy” enggak mau rugi gue pun menyodorkan pilihan
“gue diskon aja 10k. ambil atau tolak” wah lumayan nih dan kita pun bertemu di kantin biru, iya namanya kantin biru, tendanya yang biru sih.
“agenda Mapala apa selanjutnya?” tanya gue memulai obrolan
wait.. mungkin di moment ini kalian ngerasa gue dan Bono terlihat sangat akrab. Gue ingatkan sekali lagi. Gue pun enggak paham ternyata gue “senyambung” ini sama dia, persis kayak nyambung ayam yang gercep banget perlawanannya.
“Ini nih, ini jadwal kita setahun ke depan dan biasanya suka ada tahu bulat digoreng dadakan. Jadi sebaiknya kita manfaatkan waktu bersama” dia nyodorin kertas bertuliskan agendanya, betewe ini bolak balik ya.
“gue simpen, biar inget kapan harus cari selingkuhan” seloroh gue yang ditanggapi cemberutnya, lah dia manis juga ya.
Makan siang singkat dan dia pamit ada kelas, gue pun bilang akan tidur di perpustakaan. Iya, perpustakaan disini adalah yang ternyaman menurut gue. Daebak lah pokoknya.
Rasanya gue udah tertidur cukup lama, hingga gue buka mata dan melihat Bono sedang menaruh kepalanya tepat di hadapan gue. Anjir, gue kayak mimpi buruk. Nih anak serius keling banget.
“Astagfirulloh” gue meloncat kaget sambil ngelus dada, di antara kaget dan mau ketawa dia memilih untuk menggaruk kepala dengan segala mata yang memandang ke kami.
Kalau diingat seharusnya ini menjadi momentum keromantisan gue sama dia. Yaaa, biasanya ketika ada pacar lu muncul tepat dihadapan, senyum dengan pipi bersemu merah adalah pilihan terbaik yang bisa diambil
“kok lu gitu sih” cibir Bono dan gue menahan ngakak sejadinya. Pengen bilang gue bagaikan mimpi buruk enggak tega, haha..
Dia berencana mengantar gue sebagai konsekuensi menjemput paksa dari rumah, karena setelah nganterin gue dia harus balik ke kampus buat rapat Mapala. Gue sendiri sih udah bilang enggak usah, mending kasih duit eh dia ngeyel < sorry gaes ini pembelaan terselubung.
Bisa dibilang seminggu ini, bagaimana cara dia memperlakukan gue tipikal cowok nice banget bagi kebanyakan cewek, anter jemput kayak kang ojek, makan bareng dikasih diskon macem aplikasi pembayaran non tunai, nemenin ngobrol kayak sim simi dan tiap saban malem kelar rapat mapala telfonin gue kayak enggak punya kerjaan, belajar doang dia enggak sanggup ngajarin, karena ilmunya masih semampunya katanya. Tapi gue juga paham gimana orang-orang gila kegiatan ini bertindak tanduk dalam aktivitas realnya, seperti gue selinganlah.
III. Disela Perang Aktivitas
Dan hal itu terbukti. Seminggu kebersamaan dan selanjutnya Bono mulai sibuk dengan kegiatannya. Ada agenda besar yang akan dia hadapi. Meski disela-sela kesibukan yang menerjang dia masih sempat mengingatkan makan dan menanyakan apakah gue udah mati atau belum.
Syukurnya gue jawab belom, gue belom mati kangen sama dia. Iya, seminggu dibombardir dengan kehadirannya. Gue rasa dewasa ini anggota Mapala bukan hanya belajar mencintai alam tapi mulai belajar mencintai manusia. Gue mulai merasakan kosong dengan absennya Bono.
Baru seminggu padahal barengnya.
“Maksi bareng, kuy” sebaris chat dari orang yang dipikirkan rasanya melayang juga
“diskon 10k atau tolak” dan dia balas dengan ‘10k’ sebenarnya meski dia balas tolak pun gue bakal langsung ngacir ke kantin
“langsung gue pesenin enggak papa ya” sahutnya, gue mengangguk takzim. Si bapak satu ini lagi panas-panasnya dalam menyiapkan acara besarnya.
“hari ini gak bawa motor, kenapa, gue kan gak bisa anter?” dia bertanya dengan muka penuh tanda tanya
“kaki keseleo” sebaris jawaban dan dia udah mendarat dengan mengangkat kaki gue, membolak balik. Muka meringis rasanya tangannya pengen gue tusuk pake garpu
“lain kali, kalau ada apa-apa ngomong, emang sih lagi sebatas chat. Gue bales kalau sempet emang, tapi ya pasti gue sempetin kan” kata-katanya emang enggak ada manis-manisnya tapi gue paham dia selalu ngomong dari hati.
Gue ngangguk sekenanya, meski berpikir ini hanya hal kecil tapi tidak dengannya, dia butuh tahu setiap kondisi gue secara aktual tanpa embel-embel enggak penting-penting amat atau takut khawatir, menurutnya itu bullshit.
“abisin makannya ya, maaf gue harus langsung balik ke anak-anak” dia bersiap pergi
“if you feel free, hubungi gue ya” sahut gue, beberapa detik dia terdiam, menatap lalu mengelus kepala gue
“buat elu, gue selalu sempetin” sekejap dia tersenyum lalu pergi
Yang terakhir ini terdengar teduh sementara emang. Meski sempetnya dia cuman beberapa menit dari 24 jam yang ada. Ya gue paham bagaimana merindui itu sebegitu beratnya dan gue bermain-main dengan kesenggangan waktu yang gue miliki.
-0-
“Mbak Mona, ada yang nyariin” teriak adek gue dari luar kamar. Ini weekend yang indah, bagaimana bisa ada yang mencari gue di saat ingin gegoleran sambil ngelonin drama Korea.
Dan Bono ada dihadapan gue, dengan kemeja rapinya dan wanginya.
“Elu bersihan, skincare ya?” tanggapan gue setelah sekian lama gak bertatap muka
“Hasem, sebulan susah ketemu baru juga nongol udah digituin. Fine gue balik” ketika hendak membalikkan badan, gue langsung meraih tangannya
“dih baperan, sini masuk dolo. Gue rukiyah” dan dia tertawa. Entahlah rasanya kini tawanya terdengar menyegarkan.
Khusus hari ini, tanpa kabar Bono datang untuk mengajak gue kencan. Oh dengan senang hati, jawab gue dan berakhirlah kami disini. Taman Ragunan. Hasem bener dia ngajak gue kencan apa ketemu kandang kosong.. enggak pahamlah sama manusia ini, tapi ya selama sama dia okelah.
Bisa dibilang ini adalah kencan terakhir sebelum dia diserbu oleh aktivitas padat merayapnya. Dari yang bertemu setiap makan siang, lalu hanya saling menyapa, ketemu sebentar ketika gue mampir ke basecampnya. Frekuensi pertemuan kami berkurang seiring dengan gue yang mulai disergap tugas kuliah.
IV. Perselisihan
Rupanya rindu yang menumpuk bisa menjadi penyakit. Bila dikatakan bisa menjadi boomerang. Rasa kesal dan sesak berpadu menjadi satu. Entah sejak kapan gue mulai merindukan sosok Bono. Sosoknya yang selalu menjaili dan mengucap ‘Monmon’ dengan gaya lucunya.
Bila tak sabar menghadang, abai adalah jawabnya. Semakin banyak kami saling mengabaikan, hasil dari penumpukan rindu. Kami saling berkilah, merajuk dan menunda.
Ketika kami berdua bertemu, kami saling menyuguhkan sindiran dan muka saling mengejek.
“Gue minta maaf enggak punya waktu sebanyak dulu, serius gue lagi ngerjain proyek bareng anak-anak. Lu tahu kan?” sergap Bono siang terik itu. Gue memiringkan kepala.
“Elu dateng, cuman mau ngomong itu?” tanpa sadar nada sinis gue keluar
“Mon, please jangan abaikan pesan gue” dia mulai merujuk, gue gak bergeming
“kalau sempet gue pastikan membalas” gue menyindir
Rasa rindu itu rupanya telah menyayat hingga terdalam, hasil dari penumpukan itu sudah diluar kendali hingga merusak segala perlakuan.
Bono menghela nafas,
“gue akan selalu mempertahankan elu” sebaris kalimat terakhir sebelum ditutup usapan kepala, gue mengelak kasar dia menghela nafas semakin panjang kemudian pergi
Sebentar gue menatap punggung yang tertunduk lesu itu.
Memikirkan kenapa gue bisa sampai di titik paling menjengkelkan begini, apa yang terjadi?
Pertanyaan tanpa jawaban adalah berpegang pada kebingungan, gue pun masuk ke kamar dan mulai merenung.
“Mon, dua hari lagi gue naik. Selama di atas mungkin gue gak dapet sinyal. Mungkin susah juga karena mantau anak-anak. Elu baik-baik ya” khusus hari ini Bono datang, pamit seperti yang sebelum-sebelumnya dia lakukan. Setahun hubungan kami, entah sudah keberapa kali gue nganter kepergiannya nanjak dan yang gue tahu pasti dia selalu pulang dengan selamat.
Gue mengangguk dan dia pergi. Kali ini dia tidak mengelus kepala gue, paham bahwa pemikiran gue sedang tidak pada tempatnya.
V. Garis Terdepan, Pilihan Terakhir
Dan ya gue tahu dia akan pulang dengan selamat. Hari ini dia berdiri di depan pintu rumah gue dengan tas cariernya yang bisa muat gue kali tuh dan sumpah sih kayaknya dia enggak pakai mandi ke rumah gue nya. Masih dekil banget..
“Gue pulang, ini. Bukan edelweiss sih cuman mirip aja. Gue balik ya” dia ngasih gue beberapa tangkai bunga, yang buat gue menghela nafas. Apakah gue udah berubah menjadi seegois squidward yang selalu menolak kehadiran sponge bob meski dia butuh. Butuh karena tanpa sponge bob, squidward tidak akan pernah ada, meski KPI sekarang berperan.
Seminggu kami hilang kontak.
Gue pun enggak paham, bagai hilang arah. Ketika kami berpapasan di kampus, gue hanya sekedar melihatnya sekilas lalu membuang muka. Tidak putus tidak juga bisa disebut masih jadian.
Menggantung bagai jemuran kering sempurna paripurna.
Sampai percakapan itu sampai di telinga gue.
Anak-anak mapala lain yang merencanakan nanjak.
“kalian mau nanjak, Bono ikut?” tanpa tedeng aling-aling gue nimbrung, mereka ngangguk serempak
“Dia ikut, lagi galau kayaknya. ikut yuk mon” sahut mereka akrab
“Gue ikut ya, tapi Bono jangan dikabarin dulu. Anggap aja surprise” sahut gue sembari senyum lebar.
Di saat ini gue enggak tahu apa yang sedang gue lakukan, gue perbuat. Yang gue pahami. Gue harus melakukan sesuatu untuk mendobrak ego gue sendiri.
Modal googling, tekad dan niat yang kuat gue pun berangkat. Enggak pernah naik gunung, punya tas carier atau bangsanya. Yang jelas hasil gue sekarang adalah hasil pinjaman semua dan tenaga yang gue peroleh adalah tenaga untuk menemui seseorang. Seseorang yang bisa begitu memotivasi.
Titik kumpul adalah di kampus, berjumlah 10 orang setelah gue itung, gue belum menemukan sosok Bono.
“Bono enggak jadi ikut?” tanya gue sembari mata jelalatan
“Bono duluan, dia nunggu di gerbang masuk penanjakan” oh oke, gue sanggup kok sendiri. Tekad nya udah kayak tank baja nih.
Gue gak paham persisnya berapa lama yang gue habiskan di perjalanan, yang jelas gue bangun melek bangun melek sampai dibangunin karena kita sudah sampai. Oke ini gunung, oke gue bisa, oke gue kuat.
Dengan merapal mantra ala kadarnya tidak lupa gue titip pesan bahwa ini penanjakan pertama gue.
“Siap siap kita jagain kok, tapi maaf nih mon, Bono sama Rian udah naik duluan bareng rombongan lain. Mereka bilang mau gegoleran dulu di pos satu sambil nungguin kita yang lama” oh oke perjuangan sekali sepertinya bertemu dengan si Bono ini.
Nafas tersengal, tas berat banget. Sebenarnya mereka udah nawarin untuk membuat tas gue ringan tapi gue menolak ngeliat bawaan mereka juga udah lumayan. Seenggaknya gue yang merepotkan karena harus sering berhenti tidak menyusahkan mereka dengan tas ini.
Tapi entahlah, sekali ini gue belajar. Kesabaran mereka sangat luar biasa, mereka benar-benar santai dan menikmati perjalanan, menjaga satu sama lain dan setia menunggu.
“kalian sabar ya?” kelakar gue yang ngos-ngosan dan bersender di batu
“ya nikmati aja, bukan elu doang kok Mon yang baru pertama kali nanjak. Tuh masih ada Hesti sama Restu. Santuy. Lagian kita juga enggak buru-buru” sahut salah seorang dari mereka. Rasanya lebih dari rasa syukur udah bisa sampai sini meski gue mikir ini pos satu jauh amat ya.
“betewe ya kenapa kita gak boleh kasih tahu Bonbon kalau elu nanjak ya Mon?” tanya Rendra
“ya seperti yang gue bilang, susurprisee” sahut gue riang sambil nafasnya kayak sakratul maut
“Iya sih, cuman pada akhirnya dia nanjak duluan enggak menjamin dia masih di Pos Satu. Kelar acara Gede kemarin, dia keliatan kalut juga. Di atas juga enggak ada sinyal” terlihat khawatir gue hanya menyahut seadanya
“Santai, gue juga mau tahu rasanya nanjak itu kayak gimana kok” gue menyengir sambil dalam hati pundak dan kaki makin lelah. Ini gunung ujungnya mana dah.
Kami sampai di pos satu kurang lebih 4 jam dari yang seharusnya hanya 2 jam. Gak paham lagi sampai puncak mesti jam berapa.
Dan seperti perkiraan sebelumnya, Bono udah gak ada di pos satu ini, dia sepertinya ngecamp di puncak, ucap salah seorang teman. Oke baiklah. Gue kuat. Hiks.
Kami istirahat cukup lama di pos satu ini, karena ini aliran sungai terakhir yang kami temui sebelum sampai di puncak.
Jika butuh 4 jam dari 2 jam untuk sampai di pos satu ini, maka kita butuh waktu 6 jam dari 4 jam yang seharusnya untuk sampai di puncak buat ngecamp.
Ngeliat Bono yang lagi masak berlatar belakang tenda rasanya lega luar biasa, gue langsung lepas tas dan gelongsoran sembari mengucap terima kasih pada Kuasa diberikan kekuatan kaki
“lama amat nanjaknya” sahut Bono
“Santuy, 3 orang baru tuh dan tamu khusus buat lu Bon” sahut Rendra sembari menunjuk ke arah belakang dimana gue, Hesti dan Restu sudah gegoleran, Bono mendongak ke arah Rendra lalu melihat ke tiga anak baru yang lagi asik mengatur nafas.
“siapa?” sahut Bono
“cek lah Bon” sambar Fikri
Berjalan pasti dia menengok 3 orang yang gegoleran di hadapannya kini. Dia cukup mengenal Hesti dan Restu, maka satu orang yang menutup mata dengan tangannya ini adalah pertanyaan terbesar, orang yang masih saja mengatur nafas meski sudah berbaring cukup lama.
Gue tahu dia kini menatap gue, mengumpulkan sisa tenaga gue menyingkirkan tangan yang menutupi wajah, menatapnya yang sedang menatap wajah gue, lalu menyapanya singkat
“halo”, butuh waktu untuk dia meyakinkan diri bahwa ini benar-benar gue, bahwa gue ada dihadapannya sekarang dalam situasi yang cukup imposible, dia kemudian duduk disebelah gue
“tahu rasanya pengen marah, kecewa tapi berbahagia sekaligus. Rasanya pengen meluk tapi juga maki?” iya gue tahu, ujar gue dalam hati. Dalam posisi gue masih rebahan dan dia terduduk disebelah gue. Gue sama sekali enggak bisa mikir
“elu ngapain disini?” Bono melembut dengan berusaha menahan oktafnya agar tidak terlalu tinggi
“mau ketemu elu” gue jawab singkat dan Bono mengusap wajahnya, selama ini dia selalu berusaha menemui gue dan kini malah gue yang menyuguhkan diri di hadapannya
“kenapa mesti nanjak sih, elu kan belum pernah nanjak, fisik juga biasa dipakai buat rebahan doang. Ibarat kaum introvert disuruh demo elu tuh” Bono masih menahan nadanya agar tidak tinggi
“tapi kan sekarang ada elu” gue menjawab lagi kali ini nafas sudah mulai teratur
“astaga, gue gatau mesti ngapain kalau elu kenapa-kenapa cuman karena mau ketemu gue. Gue bisa nyamperin elu, ah kampret. Di tempat yang normal. Dan kenapa elu enggak ngomong, sial. Gue bisa anterin elu naik kemanapun asal dikawal sama gue dari awal. God damn” sederet kata-kata dengan selipin astaga dan sial
“surprisee” gue kini dalam posisi duduk mengatakan hal itu sembari nyengir gede, dia memalingkan muka. Kesal tapi senang mengetahui keadaan gue baik-baik saja.
Dia kemudian berdiri, mengambil tas yang gue jadikan senderan. Merasa aneh beberapa kali dia naik turunkan tas itu lalu mulai membongkar segala macam peralatan dan perlengkapan yang gue bawa.
“ini apaan?” dia menunjuk segala konsumsi yang gue bawa
“makanan” jawab gue
“iya gue tahu ini makanan, tapi kenapa banyaknya begini amat?”
“gue cuman mewaspadai hal-hal yang perlu diwaspadai” jawab gue polos dan dia tepok jidat
“gue paham, tapi enggak satu warung lu angkut juga. Ini sih bisa gue cuan-nin sekalian. Elu malah bawa yang enggak penting, yang penting ditinggal” Bono mulai berceloteh bak Bapak ngeliat kesalahan teknis anaknya.
“kan yang penting elu” gue menjawab dan dia mendelik kesal
Pada akhirnya, dia bersikeras memindahkan sebagian besar barang bawaan gue ke tasnya dan malam ini kita pesta pora dengan segala makanan enggak penting yang gue bawa. Lah kan berguna juga haha..
Malam itu kita semua menghabiskan dengan bersenda gurau teriring nyanyian dengan pemandangan bintang yang menggugah. Pemandangan dari gunung yang kata mereka tingginya enggak seberapa ini seindah ini toh. Tidak bisa gue percaya.
“indah ya” gue memecahkan keheningan yang menyelimuti kami berdua. Duduk sejejer membelakangi mereka yang masih asik bermain gitar
“taulah” gue paham dia masih kesal, dengan medan yang terbilang cukup sulit untuk orang awam dia berada didalam situasi cemas dan bahagia melihat gue baik-baik aja
“kenapa elu bisa suka gue?” gue memulai percakapan, sebisa mungkin mencairkan kekakuan ini. Diawal dia menghela nafas panjang.
“Karena gue suka, gak ada alasannya. Mungkin awalnya penasaran, nih cewek rajin banget nyamperin dan nungguin gue yang lagi manjat. Lama-lama gue sadar gue jadi merhatiin elu. Entah ada radarnya atau apa yang jelas gue selalu bisa menemukan elu ditengah keramaian absurd itu” jawabnya dan gue mengangguk takzim
“kenapa elu ngangguk bego” dan gue tertawa, udah lama banget bocah ini enggak manggil gue bego
“Seminggu kelar event itu, gue gak bisa ketemu elu. Rasanya gue pengen cari pelarian aja. Makanya ini gue nanjak cuman jeda seminggu, bodo amat gue pengen refresh dulu. Ngeliat elu yang papasan tapi cuman ngelirik sekilas berasa enggak kenal, rasanya cukup nyakitin” dia melanjutkan
“Gimana ya, gue pun pada akhirnya naik kesini untuk menaklukan ego gue sendiri. Teman-teman lu dibelakang sana jelas ngebantu gue yang kepayahan angkat badan sendiri. Thanks loh punya temen pada baik-baik banget” gue menyahut dan dia mengelus kepala gue, kali ini tanpa menghindar.
Begadang semalaman, membicarakan ini itu dengan perasaan lega dan plong. Matahari menampakkan diri di ufuk. Gunung Gede di seberang sana serasa tersenyum. Kabut dingin semalam yang berhasil gue hadang pakai koyo, tolak angin dan pelukan rasanya terbayar impas dengan pemandangan pagi ini.
Penanjakan ini mengajarkan gue untuk menaklukan ego itu, menurunkannya menghilangkannya. Tekad untuk bisa dan pertolongan mereka semua tentulah menjadi penolong luar biasa.
Hubungan Bono Mona, iya hubungan gue berdua bukan untaian saja. Masalah ini pun bisa jadi akan kami hadapi sekali dua kali bahkan berkali-kali nantinya, membicarakannya adalah yang terbaik, jujur adalah pilihannya, mencari jalan keluar bersama-sama karena hubungan ini milik kita bersama. Selama kami berpegang pada pilihan terakhir maka rasa yang kami miliki menjadi garis terdepan dalam segala perkara.
Bono dalam bahasa Riau adalah Ombak
Mono dalam KBBI bisa berarti satu-satunya.
Judul cerita ini seyogyanya mengibaratkan bahwa satu-satunya ombak dalam sebuah kisah adalah dua orang yang saling memahami dan saling menaklukan ego.
Selamat bersenang-senang dengan kasih.
Eeaa.. Mantap banget ceritanya. Romantikanya unik ya, bikin gemes. Apakah ini kisah nyata?
ReplyDeletebukan kakak, ini murni fiksi :)
DeleteFiksi or kisah nyata ya? Baru tau bono artinya ombak.
ReplyDeleteIni kayaknya nonfiksi dalam fiksi ya :D
ReplyDeleteSweettt banget, aselik
Bikin lagiiii yaa :D
--bukanbocahbiasa(dot)com--
Ada pesan dan makna dalam dibalik cerita dan nama keduanya. Makasih sudah mengutipnya di akhir <3
ReplyDeleteWuah ceritanya asyik, kisah nyata apa fiksi nih hehe.
ReplyDeleteSaling memahami memang sangat penting dalam suatu hubungan ya.
Btw baru tau arti Bono dan Mono.
Yaelah baca dari awal sampe akhir senyum2 sendiri lucu kisahnya, gemesin juga hahaha ini fiksi apa nonfiksi mba? keren banget loh
ReplyDeleteAduh sebagai pasangan pendaki gunung ini nonjok banget. Hahaha...
ReplyDeleteBtw, itu ngecamp dimana? Ilustrasinya katanya bayangan gunung gede, ngecamp di Suryakencana, atau kandang badak? Tapi ini ceritanya udah di puncak kna ya? Kalau di puncak paling yang ada sebelahan nya Pangrango dong?
Hahaha, maaf maaf saya bahas sampai kesana. Sudah saya bilang, cerita ini nonjok soalnya kami juga pendaki dan masih aktif...
Saya bacanya senyum-senyum sendiri. Ingat masa pacaran saat kuliah. Tetapi, tentu aja gak ada cerita pendakian karena kami 2 orang yang berbeda hobi saat itu. Ini apik banget diceritakannya :D
ReplyDeleteCeritanya seru, kayak melihat dunia anak2ku sendiri minus pendakian. Anak2 muda yg sibuk bikin aku bengonh. Mohon maaf boleh kritik sedikit, ya. Huruf kapital terutama untuk kutipan mungkin harus lebih diperhatikan lagi.
ReplyDeletesatu-satunya ombak dalam sebuah kisah adalah dua orang yang saling memahami dan saling menaklukan ego.
ReplyDeleteMakjlebbb mbakkk.. *sambil berkaca2 ini mata*
Asik banget mbak bisa merasakan dinginnya pegunungan dan hangatnya pelukan dengan orang yang dikasihi. Sebuah perjalanan yang sulit untuk dilupakan.
ReplyDeletePanjang dan seru ceritanya mba. Kalau sudah urusan hati susah memang yaah
ReplyDeleteAihh suka kalo menuliskan kisah di gunung dalam sebuah fiksi, meski bisa jadi ini merupakan kisah nyata ya, hahahaa. Aku dulu suka banget baca cerpen dengan setting lokasi pendakian
ReplyDeleteSeruuuu! Romantis sekali ceritanya. saya sampai bolak balik bacanya. Suka sekali, deh! Hihihi
ReplyDeleteApa mungkin karena saya tau rasanya saat nanjak dan berada di ketinggian bersama yang tersayang ya...wkwkwkwk
Sama kayak yang lain, aku jadi menduga-duga juga. Kayaknya ada nonfiksi dalam fiksi. Hehehehe, btw, suka deh dengan tokoh Bono. Aku suka cowok yang gemar naik gunung. Dulu pernah punya gebetan. Wakakak... jadi curcol :D
ReplyDeletehasem, aku ikut larut dalam pertikaian bono mono. kayak tengil gitu aslik, tapi humble, lucu. biasanya orang2 pendaki emang lucu2 sih
ReplyDeleteSukkaaaa... seneng banget kalo baca tulisan yang mengalir dan mudah dipahami seperti ini.. kadang bikin emosi naik dan turun nih.. sukes banget membuat aku membaca ini lagi lagi dan lagi.. menunggu kisah selanjutnya kakak
ReplyDeleteCeritanya asyik banget. Saya jadi berasa ikut berada di lokasi pegunungan di sana dan membayangkan melihat para tokoh cerita sedang bercakap-cakap. Ini kisah nyata yang difiksikan ya, Mbak? Keren ah. Ayo bikin lagi tulisan lanjutannya
ReplyDeleteHihi ceritanya seru ya. Kocak juga meski panjang tapi nggak bikin bosenin bacanya. Nama tokohnya juga lucu banget . Btw 173 cm itu menurut saya sudah tinggi banget lho
ReplyDeleteDuhh klo udah ngomongin hati mah haha susah minta ampun kak wkwkw. Btw bagus ceritanya namun lebih seru lagi di banyakin ilustrasi atau gambar kak bisa jauh lebih menatik membacanya hehe.
ReplyDeletewaaa, terharuuuu sama surprisenyaaa... Mon, Mon, itu kaki apa ngga langsung lepas tulang-tulangnya, secara jarang olahraga tapi langsung dipake buat manjat gunung. wkwkwk... tapi demi orang tercinta mah yaa, xixi.. ngakak banget waktu baca kulitnya well done. hahahaa, ya ampuuun..
ReplyDeleteini cerita fiksi atau kisah nyata yang dijadikan tulisan fiksi? seru dan manis. lucu juga...
ReplyDelete