"Anjing lu"
Mendadak gue langsung nengok ke arah orang yang berteriak, bukan karena merasa diri dimaki tapi lebih kepada rasa kaget.
Jakarta jam sibuk memang sungguh cobaan luar biasa dan barangsiapa yang bisa menghadapinya tentulah orang yang sungguh bertabah hati atau mungkin dipaksakan bertabah ria hingga sesampainya dirumah, melampiaskan kepada tembok putih yang tidak tahu menahu tentang kerasnya aspal kota Jakarta.
Mungkin buat kebanyakan kaum urban yang ngegawe di Jakarta, penatnya pekerjaan dengan gaji yang sok pas-pasan ditambah rumitnya hubungan antar jalanan ibukota menjadi campuran yang lebih nikmat dari es doger Menteng.
Begitu mudah orang terpancing emosi untuk mengatai jalanan dan kemacetan yang luar biasa, belum ditambah dengan bauran bau ketek baju sendiri karena keringnya jalanan ibukota, begitu mentok dan tak sengaja menyenggol keluar kata-kata.
Yang jelas, pergeseran makna telah terjadi, sang binatang telah menjadi sebuah sambutan hangat dalam perbincangan antar sahabat. Dari jalanan dibawa pada obrolan ringan. Dari sekedar tikus rumahan sampai pada koruptor jalang yang berebut tahta dan permata.
Jalanan telah berubah menjadi adu mulut yang lebih tajam, ketika emosi tak kuasa lagi tertahan, kendaraan dibanting begitu saja, pintu mobil ditutup keras. Derap kaki melangkah kasar dan tangan mulai mengacung-acung. Kepala mulai maju mundur warga lain berjalan hanya memandang saja.
Menatap dengan rasa "ada apa sih" lalu berlalu begitu saja.
Kadang bahkan menjadi tontonan warung kopi sekitar, tidak ada yang memisahkan hanya berujar dalam hati siapa yang akan menang.
Jalanan ibukota telah berubah dibentuk oleh pribadi yang terlibat didalamnya. Hidup dirasa begitu pelik, jalanan dirasa begitu menyakitkan. Ah, lagi-lagi menyalahkan jalanan.
Tidak ada yang salah dengan aspal berkerikil dan kadang berlubang itu, mereka tidak salah hanya karena lubang-lubang yang tergenang air. Bukan salah para kendaraan juga yang malang melintang, bukan pula manusia yang bertengger diatasnya.
Hanya mengatai kata-kata seperti tulisan Bapak Aprianus Salim, yang berfungsi menjadi koridor bagi mahasiswa UNY yang menjajak historis mengenai kata-kata makian, bagaimana persepsi, konsepsi (dimana yang gue maksud adalah paham bukan pembuahan) sampai pada nilai historicalnya.
Jujur kata makian buat gue adalah sesuatu yang mengganjal, sebegitu besarnya Tuhan mencipta manusia hingga menyelipkan kata-kata kasar, apakah Tuhan sesungguhnya ingin menjadikan kata-kata itu sebagai kata-kata makian?
Sejak kapan kata makian ini berawal pun menjadi rancu dan bayang samar karena tidak ada yang bisa menebaknya begitu saja. Kata-kata ini seperti sebuah kesepakatan tidak tercatat dalam masyrakat. Tumbuh dan divonis begitu saja menjadi kata tidak terpuji dan tidak layak dilontarkan kepada orang yang lebih tua atau kepada sesama baiknya.
Namun sekali lagi, manusia mengakali bahwa bagaimana kata itu terkonduksi berdasarkan kapan, dimana, pada siapa, dengan nada yang bagaimana kata itu diucapkan. Sungguh ironi atau malah keberuntungan bagaimana hal-hal ini menjadikan kata-kata sefleksibel orang yang memadu kasih dengan 5 selingkuhan...
Lalu bagaimana dengan peranan memaki? sebegitu pentingnya kah?
Pastilah mulut harus menjawab ya, meski hati tak restu seratus persen. Kata-kata ini sudah mewarnai kehidupan kita semua, ketika kelenjar adrenal memproduksi hormon dan stres, yaitu kortisol hingga aliran darah ke lambung dan usus berubah haluan ke otot dan menyiagakan tubuh untuk melawan, ya kawan marah telah melekat. Marah suatu ekspresi atas ekspektasi yang tidak sesuai atau citra diri yang tidak cocok menjadikan pikiran tidak rasional dan apapun yang terpikirkan dengan cepat untuk mengungkapkan perasaan hati dan diri keluar begitu saja hingga rasa sesal yang tersisa.
Memang kata makian dan marah merupakan jodoh yang sampai sekarang belum dapat dipisahkan. Bukan karena tidak ada yang ingin menceraikan namun rasanya ketika sedang intens-intensnya kesal, memaki dirasa menjadi obat yang paling mujarab. Bukan karena tidak sadar pada eksistensi seseorang tapi lebih kepada "pada akhirnya kata inilah yang cocok untuk menggambarkan orang brengsek kayak loe"
Hanya itu, pada akhirnya memaki tetap menjadi primadona masyrakat kalangan bawah sampai atas, dari yang mulai dilontarkan begitu saja sampai pada kata-kata halus nan merdu yang tetep saja bernada memaki.
Kepentingan-kepentingan untuk memaki pun dirasa masih rasional untuk dilanjutkan dewasa ini, bahkan menunggu sampai kata-kata keluar, bukan hanya lokal dirasa punya untuk memaki, namun bahasa lain pun menjadi kontaminasi kuat dan dianggap lebih keren.
lalu gue harus mengurutkan sampai abjad keberapa hingga kata-kata ini akhirnya bisa sampe diucapkan anak-anak TK sekarang?
Mendadak gue langsung nengok ke arah orang yang berteriak, bukan karena merasa diri dimaki tapi lebih kepada rasa kaget.
Jakarta jam sibuk memang sungguh cobaan luar biasa dan barangsiapa yang bisa menghadapinya tentulah orang yang sungguh bertabah hati atau mungkin dipaksakan bertabah ria hingga sesampainya dirumah, melampiaskan kepada tembok putih yang tidak tahu menahu tentang kerasnya aspal kota Jakarta.
Mungkin buat kebanyakan kaum urban yang ngegawe di Jakarta, penatnya pekerjaan dengan gaji yang sok pas-pasan ditambah rumitnya hubungan antar jalanan ibukota menjadi campuran yang lebih nikmat dari es doger Menteng.
Begitu mudah orang terpancing emosi untuk mengatai jalanan dan kemacetan yang luar biasa, belum ditambah dengan bauran bau ketek baju sendiri karena keringnya jalanan ibukota, begitu mentok dan tak sengaja menyenggol keluar kata-kata.
Kata kata yang mulai mengatai ataukata kata yang dikatai?
Yang jelas, pergeseran makna telah terjadi, sang binatang telah menjadi sebuah sambutan hangat dalam perbincangan antar sahabat. Dari jalanan dibawa pada obrolan ringan. Dari sekedar tikus rumahan sampai pada koruptor jalang yang berebut tahta dan permata.
Jalanan telah berubah menjadi adu mulut yang lebih tajam, ketika emosi tak kuasa lagi tertahan, kendaraan dibanting begitu saja, pintu mobil ditutup keras. Derap kaki melangkah kasar dan tangan mulai mengacung-acung. Kepala mulai maju mundur warga lain berjalan hanya memandang saja.
Menatap dengan rasa "ada apa sih" lalu berlalu begitu saja.
Kadang bahkan menjadi tontonan warung kopi sekitar, tidak ada yang memisahkan hanya berujar dalam hati siapa yang akan menang.
Jalanan ibukota telah berubah dibentuk oleh pribadi yang terlibat didalamnya. Hidup dirasa begitu pelik, jalanan dirasa begitu menyakitkan. Ah, lagi-lagi menyalahkan jalanan.
Tidak ada yang salah dengan aspal berkerikil dan kadang berlubang itu, mereka tidak salah hanya karena lubang-lubang yang tergenang air. Bukan salah para kendaraan juga yang malang melintang, bukan pula manusia yang bertengger diatasnya.
Hanya mengatai kata-kata seperti tulisan Bapak Aprianus Salim, yang berfungsi menjadi koridor bagi mahasiswa UNY yang menjajak historis mengenai kata-kata makian, bagaimana persepsi, konsepsi (dimana yang gue maksud adalah paham bukan pembuahan) sampai pada nilai historicalnya.
Jujur kata makian buat gue adalah sesuatu yang mengganjal, sebegitu besarnya Tuhan mencipta manusia hingga menyelipkan kata-kata kasar, apakah Tuhan sesungguhnya ingin menjadikan kata-kata itu sebagai kata-kata makian?
Sejak kapan kata makian ini berawal pun menjadi rancu dan bayang samar karena tidak ada yang bisa menebaknya begitu saja. Kata-kata ini seperti sebuah kesepakatan tidak tercatat dalam masyrakat. Tumbuh dan divonis begitu saja menjadi kata tidak terpuji dan tidak layak dilontarkan kepada orang yang lebih tua atau kepada sesama baiknya.
Namun sekali lagi, manusia mengakali bahwa bagaimana kata itu terkonduksi berdasarkan kapan, dimana, pada siapa, dengan nada yang bagaimana kata itu diucapkan. Sungguh ironi atau malah keberuntungan bagaimana hal-hal ini menjadikan kata-kata sefleksibel orang yang memadu kasih dengan 5 selingkuhan...
pada akhirnya memaki tak berdasar ditujukan kepada orang yg sngat tdk layak dimaki |
Lalu bagaimana dengan peranan memaki? sebegitu pentingnya kah?
Pastilah mulut harus menjawab ya, meski hati tak restu seratus persen. Kata-kata ini sudah mewarnai kehidupan kita semua, ketika kelenjar adrenal memproduksi hormon dan stres, yaitu kortisol hingga aliran darah ke lambung dan usus berubah haluan ke otot dan menyiagakan tubuh untuk melawan, ya kawan marah telah melekat. Marah suatu ekspresi atas ekspektasi yang tidak sesuai atau citra diri yang tidak cocok menjadikan pikiran tidak rasional dan apapun yang terpikirkan dengan cepat untuk mengungkapkan perasaan hati dan diri keluar begitu saja hingga rasa sesal yang tersisa.
Memang kata makian dan marah merupakan jodoh yang sampai sekarang belum dapat dipisahkan. Bukan karena tidak ada yang ingin menceraikan namun rasanya ketika sedang intens-intensnya kesal, memaki dirasa menjadi obat yang paling mujarab. Bukan karena tidak sadar pada eksistensi seseorang tapi lebih kepada "pada akhirnya kata inilah yang cocok untuk menggambarkan orang brengsek kayak loe"
Hanya itu, pada akhirnya memaki tetap menjadi primadona masyrakat kalangan bawah sampai atas, dari yang mulai dilontarkan begitu saja sampai pada kata-kata halus nan merdu yang tetep saja bernada memaki.
Kepentingan-kepentingan untuk memaki pun dirasa masih rasional untuk dilanjutkan dewasa ini, bahkan menunggu sampai kata-kata keluar, bukan hanya lokal dirasa punya untuk memaki, namun bahasa lain pun menjadi kontaminasi kuat dan dianggap lebih keren.
"Bitch, shit, goddamn, motherfucker....."
lalu gue harus mengurutkan sampai abjad keberapa hingga kata-kata ini akhirnya bisa sampe diucapkan anak-anak TK sekarang?
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteDalam beberapa kasus lama-kelamaan memaki akan menjadi kebiasaan, yang mana jika tidak dilakukan terasa ada yang aneh.
ReplyDeleteYaps mas Edwin tentulah tidak salah, bahkan kalo saya boleh koreksi, kebanyakan kasus memaki menjadi suatu tradisi dan akan membuat lidah kelu bila tidak dikatakan.
ReplyDeleteHello mmate nice post
ReplyDelete