Pada akhirnya gue kebingungan, memilih jalan yang mana, mau memutar lewat mana.
Segala kesepakatan diawal hanya menjadi hiasan kesepakatan, pikiran yang menggalau hati yang merindu.
Kemudian berfikir untuk berhenti sejenak karena terlalu lelah dan akan melanjutkan nanti, ketidaksabaran yang menuntun diri ini pada pemikiran itu.
Apa yang menjadi impian harus tertelan sabar sementara diri yang merindu tidak bisa ditahan dengan kesabaran.
Gue merindu untuk menjadi sok, tapi gue merindu untuk menjawab keinginan dalam hati, segala nikmat yang didapat kini takut terkoyak dan menjadikannya remahan roti yang telah habis disantap.
Entah bagaimana pada akhirnya gue tertelan dalam lingkaran kegelapan dan tidak lagi bersemangat untuk menunggu, gue mau apa pun sudah hilang entah terbawa arus kemana. Gue yang dulu belum lagi nampak hidungnya, semuanya terlebur menjadi satu dalam voucher-voucher yang menghimpit tiap harinya, segala keputusan dan segala rutinitas yang membosankan, kesadaran untuk tidak pernah diam dan hanya berkata ya juga mencari alasan menjadikan segala rutinitas ini hanya hampa belaka.
Mungkin gue menjalani dengan setengah hati ketika usai matahari terbenam dan menjalankan dengan penuh semangat dan kesungguhan ketika matahari terbit.
Ya gue sadar, gue telah merancang segalanya dari awal, gue membuat sebuah keputusan diawal kehidupan ketika gue memilih jalan ini, gue gak menyesal namun menjadi berat (atau ini lagi-lagi alasan untuk mengatakan bahwa ini bukanlah penyesalan). Sampai saat ini gue mencoba kabur tiap tanggal merah menerangi kalender, sedang mencari penghiburan ditengah kesia-siaan, meski gue sadar kesia-siaan ini yang membangkitkan rasa jenuh gue pada kehidupan.
Gue rindu menjadi diri gue dimana gue sendiri merasakan bahwa itulah hidup, gue harus mulai bergerak mencari diri itu, gue harus mulai berkata "ayo" tapi gue sadar keutuhan akan impian itu harus dititi satu persatu, penuh dengan kesabaran dan peluh keringat.
Tawa yang keluar itu tulus, yang kulakukan meski setengah hati telah dilakukan dengan semaksimal mungkin, dan diri ini tetap tertahan didalam, tidak berani mengambil keputusan untuk bergerak dalam zona nyaman yang diberikan, menolak untuk menjadi satu, lebur dalam setiap kenangan bersama.
Berbagi memoar bersama, tidak. Diri ini tetap mempertahankan bahwa didepan sana ada sesuatu yang harus dicapai. Sekarang adalah usaha dan besok adalah impian.
Tapi sekali lagi ketakutan itu merayapi tubuh, menenggelamkan dalam kepasrahan diri, menuntut untuk tidak berlebihan namun juga menuntut untuk melupakan sehingga pikiran yang kosong menjadi makin hampa. Lubang dalam hati pun menganga begitu besarnya hingga Tuhan pun akan bingung kekosongan apa yang tengah dirasakan hingga layaknya batu karang yang terkikis hempasan gelombang.
(Dan gue selalu berharap bahwa batu karang ini tidak akan terkikis gelombang).
Segala kesepakatan diawal hanya menjadi hiasan kesepakatan, pikiran yang menggalau hati yang merindu.
Kemudian berfikir untuk berhenti sejenak karena terlalu lelah dan akan melanjutkan nanti, ketidaksabaran yang menuntun diri ini pada pemikiran itu.
Apa yang menjadi impian harus tertelan sabar sementara diri yang merindu tidak bisa ditahan dengan kesabaran.
Gue merindu untuk menjadi sok, tapi gue merindu untuk menjawab keinginan dalam hati, segala nikmat yang didapat kini takut terkoyak dan menjadikannya remahan roti yang telah habis disantap.
Entah bagaimana pada akhirnya gue tertelan dalam lingkaran kegelapan dan tidak lagi bersemangat untuk menunggu, gue mau apa pun sudah hilang entah terbawa arus kemana. Gue yang dulu belum lagi nampak hidungnya, semuanya terlebur menjadi satu dalam voucher-voucher yang menghimpit tiap harinya, segala keputusan dan segala rutinitas yang membosankan, kesadaran untuk tidak pernah diam dan hanya berkata ya juga mencari alasan menjadikan segala rutinitas ini hanya hampa belaka.
Mungkin gue menjalani dengan setengah hati ketika usai matahari terbenam dan menjalankan dengan penuh semangat dan kesungguhan ketika matahari terbit.
Ya gue sadar, gue telah merancang segalanya dari awal, gue membuat sebuah keputusan diawal kehidupan ketika gue memilih jalan ini, gue gak menyesal namun menjadi berat (atau ini lagi-lagi alasan untuk mengatakan bahwa ini bukanlah penyesalan). Sampai saat ini gue mencoba kabur tiap tanggal merah menerangi kalender, sedang mencari penghiburan ditengah kesia-siaan, meski gue sadar kesia-siaan ini yang membangkitkan rasa jenuh gue pada kehidupan.
Gue rindu menjadi diri gue dimana gue sendiri merasakan bahwa itulah hidup, gue harus mulai bergerak mencari diri itu, gue harus mulai berkata "ayo" tapi gue sadar keutuhan akan impian itu harus dititi satu persatu, penuh dengan kesabaran dan peluh keringat.
Tawa yang keluar itu tulus, yang kulakukan meski setengah hati telah dilakukan dengan semaksimal mungkin, dan diri ini tetap tertahan didalam, tidak berani mengambil keputusan untuk bergerak dalam zona nyaman yang diberikan, menolak untuk menjadi satu, lebur dalam setiap kenangan bersama.
Berbagi memoar bersama, tidak. Diri ini tetap mempertahankan bahwa didepan sana ada sesuatu yang harus dicapai. Sekarang adalah usaha dan besok adalah impian.
Tapi sekali lagi ketakutan itu merayapi tubuh, menenggelamkan dalam kepasrahan diri, menuntut untuk tidak berlebihan namun juga menuntut untuk melupakan sehingga pikiran yang kosong menjadi makin hampa. Lubang dalam hati pun menganga begitu besarnya hingga Tuhan pun akan bingung kekosongan apa yang tengah dirasakan hingga layaknya batu karang yang terkikis hempasan gelombang.
(Dan gue selalu berharap bahwa batu karang ini tidak akan terkikis gelombang).
Sometimes apa yang uda kita rencanain harus gagal atau mungkin tertunda.. Mungkin itu bagian dari petunjuk Tuhan dalam proses kehidupan.. :)
ReplyDeletedan kesabaran adalah sebuah proses sulit yang benar-benar harus dihadapi :')
Delete