ini bukan gue, temen gue brosist wkwk |
Pernah ke Rangkasbitung?
Pernah dengar Multatuli atau karyanya Max Havelaar?
Atau nama aslinya Edward Douwes Dekker?
Atau selintas drama mengenai Saidjah dan Adinda?
Rileks gue enggak bakal nangis ke pojokan jika kalian enggak tahu siapa itu siapa mereka atau bahkan bertanya-tanya mengenai daerah Rangkasbitung, karena itu artinya gue bisa sok pamer kalau gue tahu dan pernah menginjakkan kakinya di museum Multatuli, Museum pertama di Indonesia yang mengusung tema anti kolonialisme hoho *tawa sombong*.
Rangkasbitung adalah salah satu daerah di Lebak, Banten. Gue lumayan sering mengunjungi daerah ini untuk sekedar bertapa dan mencari wangsit juga pangsit (tolong jangan salah sangka disini bukan tempat dengan rekomendasi pangsit terbaik).
Dan disinilah Edward Douwes Dekker atau yang lebih terkenal dengan nama penanya Multatuli sebagai orang Belanda bertugas sebagai pengawas.
Selintas mengenai Multatuli, takut kalau-kalau terlalu detail Wikipedia akan kalah pamor sama gue. Museumnya terletak berdampingan dengan Perpustakaan daerah yang segede gambreng bernama Saidjah Adinda dan berada persis didepan alun-alun Rangkas (gue sangat berharap Bekasi, kota yang sangat gue cintai ini punya perpustakaan daerah segede gambreng gitu, sekalian perpustakaannya punya coffee shop macem perpus UI, tapi kalau bisa sih coffee shopnya local). Begitu mudah menemukannya meski enggak begitu banyak orang yang tahu keberadaannya. Museum ini tergolong baru karena baru buka di tahun 2018 dan kalian tahu kan mengenai “memodernisasi museum” jadi ya jelas museum ini punya banyak keunggulan.
Dengan model digitalisasi seperti penayangan film ataupun syair-syair suara, penataan yang begitu epik dan barisan-barisan tulisan yang menerangkan untuk ukuran museum yang tidak terlalu besar gue sangat mengapresiasi museum ini.
Ketika masuk kalian akan disambut oleh pendopo luas yang dimaksudkan untuk menampung banyak anak-anak, dilanjutkan dengan meja register dan ini dia hal yang paling gue suka.
Begitu masuk kalian akan disambut dengan kata-kata demikian,
“Tugas Manusia adalah Menjadi Manusia” |
Ini adalah kata-kata yang menjadi favorit gue, mengingat zaman ketika Multatuli menulis novel untuk mengisyaratkan bahwa rakyat telah tertindas oleh sebuah kedok halus yang harus dibongkar, membangkitkan semangat juang dan semangat perlawanan.
Kata ini menurut gue juga masih relevansi dengan keadaan sekarang. Kalian seringkali merasakan bahwa derajat A berbeda dengan B, well sesama manusia saling menentukan batasan. Ini mengingatkan ketika kita kecil dan bermain kita tidak pernah mengenal si kaya si miskin, si A dan si B. Kita mengenal bahwa bermain dengan orang lainnya adalah keseruan yang hakiki, kita kan enggak mungkin bisa main tak umpet atau tak jongkok sendirian kan? Realistis aja. Kebutuhan manusia akan manusia lainnya adalah mutlak dan soal derajat yang udah nempel ke urat ini gue cuman bisa bilang yang penting santun dan enggak saling merendahkan.
Kalian bakal bisa lihat Syair Chairil Anwar ataupun referensi dari Bapak Pramoedya Ananta Toer yang saat itu banyak karyanya terinspirasi dari Multatuli dan tentu aja buku Max Havelaar itu sendiri yang dimulai dari cetakan berbahasa Belanda, Inggris dan beberapa bahasa lain sampai pada akhirnya dicetak resmi dengan Bahasa Indonesia.
"Dan bangsa kami di negeri Belanda pada hari minggu berpakaian rapi, berdoa dengan tekun. Sesudah itu bersantap bersama. Menghayati gaya peradaban tinggi, bersama sanak keluarga. Menghindari perkataan kotor, dan selalu berbicara dalam tata bahasa yang patut," begitu kata Multatuli.Melalui Max Havelaar, Belanda pada akhirnya terdesak untuk menerbitkan apa yang disebut sebagai kebijakan etis.
"Peradaban tinggi itu Tuan, Puan," lanjut Multatuli, "adalah hasil keuntungan besar di dalam perdagangan kopi. Sebagai hasil yang efisien dari tanam paksa di tanah jajahan." Rangkasbitung kembali hancur kali itu, demi kebangkitan Kerajaan Belanda yang menjajah Indonesia di periode abad ke-18 hingga masa akhir penjajahan Belanda.
Max Havelaar lalu hadir melalui tangan Multatuli sebagai pembawa keberuntungan baru bagi masyarakat Rangkasbitung. Keberadaannya sampai akhir memang tidak dapat mengangkat perekonomian warga secara signifikan. Namun Max Havelaar, seperti yang dituliskan Pram pada 1999, adalah Best Story; The Book That Killed Colonialism.
Gue pikir ini adalah salah satu literasi paling berpengaruh kala itu, bagaimana akhirnya kepemerintahan Belanda mengeluarkan keputusan dan masyarakat bergerak mendeklarasikan diri terutama rakyat Rangkas. W. S Rendra bahkan pernah memunculkan sajak mengenai derita Rakyat Rangkas yang menyayat hati.
Gue bisa bilang enggak banyak yang bisa kalian lihat disini bahkan dengan tour guide aja kita hanya menghabiskan satu jam.
Museum Multatuli masih kekurangan artefak meskipun Museum Multatuli yang di Belanda sana telah menyumbangkan artefak yang menurutnya harus berada di Indonesia dan beberapa replika yang hak nya dipegang oleh Wikipedia.
Tapi museum dan perpustakaan daerah yang mumpuni?
Gue harus merasakan haru yang mendalam, mereka telah maju tanpa meninggalkan masa lalu.
No comments:
Post a Comment