Entah mana yang lebih menyakitkan, diberi harapan palsu atau takut mengungkapkan apa yang dirasa.
Kisah kasihku mungkin tidak sedramatis seperti di film-film atau drama percintaan kalian.
Bahkan di jeda kesendirianku selama 2 tahun, mungkin aku bukan apa-apa.
Aku selalu merasa, aku bukan apa-apa.
Sampai dia datang..
Mengubah kecanggunganku, mengubah segalanya, memporakporandakan kebimbanganku..
Beranjak dari komunitas sosial media aku dan dia berkenalan.
Dia mulai duluan menyapa, heran adalah apa yang kurasakan.
Ada apa gerangan, siapakah dia.
Kami belum pernah bertatap muka namun rasanya apa yang kami bicarakan sama dan searah. Dia bilang sedang mau cari yang serius.
Aku belum menggubrisnya, aku hanya ingin hal ini berjalan dulu, aku belajar, aku mempelajari.
Dahulu perjuangan untuk cinta menyesakkan dada dan hanya meninggalkan jejak air mata tak berkesudahan kala mengingatnya.
Aku mencoba berhati-hati atas apa yang dia lakukan dan aku perbuat, aku mengerti bahwa setiap manusia diciptakan unik dan berbeda, bahwa dia mungkin saja berbeda, bahwa mungkin saja dia adalah seseorang yang kunanti meski dengan penuh ketakutan, bahwa dia adalah seseorang yang kupinta pada Tuhan dalam doa-doa dan harapanku.
Dalam hari demi hari,
Dalam jam demi jam,
Dalam detik demi detik,
Kami terus melempar bicara, kadang melempar asa dan harapan, saling mengungkapkan setiap lelucon yang kadang kami tertawakan sendiri karena tidak lucu sama sekali.
"Ayo ketemu"
Barisan kode dariku yang diterima dengan baik olehnya membuatku hatiku berdegup kencang.
Kami mengikat janji bertemu, kurasakan hariku sudah mulai tidak biasa. Ada bayang-bayang bagaimana dirinya, bagaimana nanti kami bertemu, baju apa yang harus kupakai.
Begitu banyak imajinasi liar muncul membuatku girang bukan kepalang.
Kurasakan gairah yang sama darinya, bagaimana kegembiraan yang menyeruak ini bukan hanya milikku seorang saja.
Hari itu tiba.
Dengan sedikit drama, kurasakan ketakutan yang tidak biasa, namun kukuatkan diri ini.
Aku ingin menemuinya, kuucapkan tekadku dengan mantap.
Dia terduduk dengan manis dipojok ruang.
Kami saling melempar senyum, kupikir ini akan menjadi pembicaraan yang sangat canggung, bagaimana dia dan aku baru pertama kali bertemu dan menatap langsung.
Aku merasakan ketakutan yang belum terjadi itu menyeruak begitu saja.
Tapi aku salah..
Aku telah salah menilainya, dia teramat bersahabat. Tidak ubahnya kami malah melanjutkan obrolan dari yang tadinya lewat sosial media berganti jadi saling bertatapan.
Kelucuan dan kegaringannya pun tidak berubah.
Tidak, aku tidak ingin segala yang menyesakkan dada itu terulang kembali.
Dia memang menyenangkan dan baik, dia membuat hariku tak ubahnya menjadi pengharapan.
Pernah kukatakan bahwa aku ingin menjalani dulu dan sebagainya, namun kusadari bukan itu yang kumau saat ini.
Yang kuinginkan adalah melangkah bersama, hanya bersama. Itu saja.
Bersama hingga aku dan dia menjadi kita.
Namun sekali lagi kucoba sisihkan ruang agar bila keinginan itu tidak tercapai aku memiliki ruang yang tidak tersakiti dan masih menyisakan kegigihan untuk bangkit lagi.
"Next, gue mau ngajak lu dinner nih"
Hatiku seperti bunga sakura bermekaran, berwarna merah muda dengan semangat mekar luar biasa.
Namun janji tinggallah janji,
Pada saat yang ditentukan, aku dan dia terpenjara dalam kesibukan kantor. Kami tak bisa berkutik, hal-hal yang telah terencana rapi harus dibubarkan paksa.
Begitu pun dengan satu kali janji, dua kali janji sampai akhirnya janji-janji itu hilang oleh riuh redam kebisingan bumi.
Imajinasi liarku membisu.
Aku bertanya ada apa, dia katakan sedang banyak pekerjaan.
Aku katakan apa bisa bertemu lagi, dia katakan akan segera mengabari.
Aku tegaskan selanjutnya bagaimana, dia katakan nanti dulu.
Lalu perlahan dia mulai menghilang,
Selangkah demi selangkah,
Entah ketakutan apa yang dia rasakan. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
Begitu sulitkah seseorang untuk mengatakan apa yang dia rasakan?
Aku berfikir dalam mengenai hal-hal tentangnya,
Mengapa seseorang berjanji bila dia tidak bisa menepatinya?
Bahkan bunga sakura dalam hatiku belum mekar seutuhnya sudah harus bergugurankah?
Dalam kepalaku beberapa bulan belakangan adalah dia, bagaimana setiap hari kami saling mengikat komunikasi.
Dia menghilang, hilang juga akalku mengenai sosoknya.
Entah harus meratap atau membiarkannya saja, yang jelas hal ini benar-benar membuatku sedih.
Bukan, bukan bagaimana dia mundur teratur saja tapi bagaimana pada akhirnya aku sama sekali tidak mengerti apa yang memberatkannya.
Aku menyukai penjelasan, karena itu lebih menyenangkan daripada diombang-ambing dalam penafsiran yang salah.
Pada akhirnya yang kulakukan adalah merelakannya saja. Ya, apalagi memang yang bisa aku perbuat selain mengakui juga betapa kehati-hatianku akan trauma pada mantanku terdahulu telah membuatku sempat limbung.
Tidak mudah bagiku untuk percaya, maka ketika kuletakkan kepercayaan pada seseorang itu membuat dadaku merasa sesak kembali.
Aku pun menyadari bahwa yang pergi akan tetap pergi bagaimanapun kuat keinginan kita untuk mempertahankannya dan yang tinggal akan tetap tinggal biar kita telah mengusirnya dengan keras.
Langit masih bersinar cerah, maka meski dia yang belum sempat kumiliki telah pergi aku yakin akan ada mentari lain datang dengan sinar yang menghangatkan hati kosong ini.
Nb : Untuk sahabat yang selalu berkeluh kesah mengenai kehidupan remaja saat ini dan gak hentinya selalu punya cerita setiap harinya. Tumbuhlah melalui cerita sob!
Kisah kasihku mungkin tidak sedramatis seperti di film-film atau drama percintaan kalian.
Bahkan di jeda kesendirianku selama 2 tahun, mungkin aku bukan apa-apa.
Aku selalu merasa, aku bukan apa-apa.
Sampai dia datang..
Mengubah kecanggunganku, mengubah segalanya, memporakporandakan kebimbanganku..
Beranjak dari komunitas sosial media aku dan dia berkenalan.
Dia mulai duluan menyapa, heran adalah apa yang kurasakan.
Ada apa gerangan, siapakah dia.
Kami belum pernah bertatap muka namun rasanya apa yang kami bicarakan sama dan searah. Dia bilang sedang mau cari yang serius.
Aku belum menggubrisnya, aku hanya ingin hal ini berjalan dulu, aku belajar, aku mempelajari.
Dahulu perjuangan untuk cinta menyesakkan dada dan hanya meninggalkan jejak air mata tak berkesudahan kala mengingatnya.
Aku mencoba berhati-hati atas apa yang dia lakukan dan aku perbuat, aku mengerti bahwa setiap manusia diciptakan unik dan berbeda, bahwa dia mungkin saja berbeda, bahwa mungkin saja dia adalah seseorang yang kunanti meski dengan penuh ketakutan, bahwa dia adalah seseorang yang kupinta pada Tuhan dalam doa-doa dan harapanku.
Dalam hari demi hari,
Dalam jam demi jam,
Dalam detik demi detik,
Kami terus melempar bicara, kadang melempar asa dan harapan, saling mengungkapkan setiap lelucon yang kadang kami tertawakan sendiri karena tidak lucu sama sekali.
"Ayo ketemu"
Barisan kode dariku yang diterima dengan baik olehnya membuatku hatiku berdegup kencang.
Kami mengikat janji bertemu, kurasakan hariku sudah mulai tidak biasa. Ada bayang-bayang bagaimana dirinya, bagaimana nanti kami bertemu, baju apa yang harus kupakai.
Begitu banyak imajinasi liar muncul membuatku girang bukan kepalang.
Kurasakan gairah yang sama darinya, bagaimana kegembiraan yang menyeruak ini bukan hanya milikku seorang saja.
Hari itu tiba.
Dengan sedikit drama, kurasakan ketakutan yang tidak biasa, namun kukuatkan diri ini.
Aku ingin menemuinya, kuucapkan tekadku dengan mantap.
Dia terduduk dengan manis dipojok ruang.
Kami saling melempar senyum, kupikir ini akan menjadi pembicaraan yang sangat canggung, bagaimana dia dan aku baru pertama kali bertemu dan menatap langsung.
Aku merasakan ketakutan yang belum terjadi itu menyeruak begitu saja.
Tapi aku salah..
Aku telah salah menilainya, dia teramat bersahabat. Tidak ubahnya kami malah melanjutkan obrolan dari yang tadinya lewat sosial media berganti jadi saling bertatapan.
Kelucuan dan kegaringannya pun tidak berubah.
Aku seperti menemui teman lama yang sudah lama sekali tidak bertemu dan saling merindu, bertukar cerita hingga malam larut seakan waktu tidak pernah cukup.Hatiku mengatakan mungkinkah, logikaku menolak seutuhnya.
Tidak, aku tidak ingin segala yang menyesakkan dada itu terulang kembali.
Dia memang menyenangkan dan baik, dia membuat hariku tak ubahnya menjadi pengharapan.
Pernah kukatakan bahwa aku ingin menjalani dulu dan sebagainya, namun kusadari bukan itu yang kumau saat ini.
Yang kuinginkan adalah melangkah bersama, hanya bersama. Itu saja.
Bersama hingga aku dan dia menjadi kita.
Namun sekali lagi kucoba sisihkan ruang agar bila keinginan itu tidak tercapai aku memiliki ruang yang tidak tersakiti dan masih menyisakan kegigihan untuk bangkit lagi.
"Next, gue mau ngajak lu dinner nih"
Hatiku seperti bunga sakura bermekaran, berwarna merah muda dengan semangat mekar luar biasa.
Namun janji tinggallah janji,
Pada saat yang ditentukan, aku dan dia terpenjara dalam kesibukan kantor. Kami tak bisa berkutik, hal-hal yang telah terencana rapi harus dibubarkan paksa.
Begitu pun dengan satu kali janji, dua kali janji sampai akhirnya janji-janji itu hilang oleh riuh redam kebisingan bumi.
Imajinasi liarku membisu.
Aku bertanya ada apa, dia katakan sedang banyak pekerjaan.
Aku katakan apa bisa bertemu lagi, dia katakan akan segera mengabari.
Aku tegaskan selanjutnya bagaimana, dia katakan nanti dulu.
Lalu perlahan dia mulai menghilang,
Selangkah demi selangkah,
Entah ketakutan apa yang dia rasakan. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
Begitu sulitkah seseorang untuk mengatakan apa yang dia rasakan?
Aku berfikir dalam mengenai hal-hal tentangnya,
Mengapa seseorang berjanji bila dia tidak bisa menepatinya?
Bahkan bunga sakura dalam hatiku belum mekar seutuhnya sudah harus bergugurankah?
Dalam kepalaku beberapa bulan belakangan adalah dia, bagaimana setiap hari kami saling mengikat komunikasi.
Dia menghilang, hilang juga akalku mengenai sosoknya.
Entah harus meratap atau membiarkannya saja, yang jelas hal ini benar-benar membuatku sedih.
Bukan, bukan bagaimana dia mundur teratur saja tapi bagaimana pada akhirnya aku sama sekali tidak mengerti apa yang memberatkannya.
Aku menyukai penjelasan, karena itu lebih menyenangkan daripada diombang-ambing dalam penafsiran yang salah.
Pada akhirnya yang kulakukan adalah merelakannya saja. Ya, apalagi memang yang bisa aku perbuat selain mengakui juga betapa kehati-hatianku akan trauma pada mantanku terdahulu telah membuatku sempat limbung.
Tidak mudah bagiku untuk percaya, maka ketika kuletakkan kepercayaan pada seseorang itu membuat dadaku merasa sesak kembali.
Aku pun menyadari bahwa yang pergi akan tetap pergi bagaimanapun kuat keinginan kita untuk mempertahankannya dan yang tinggal akan tetap tinggal biar kita telah mengusirnya dengan keras.
Langit masih bersinar cerah, maka meski dia yang belum sempat kumiliki telah pergi aku yakin akan ada mentari lain datang dengan sinar yang menghangatkan hati kosong ini.
Nb : Untuk sahabat yang selalu berkeluh kesah mengenai kehidupan remaja saat ini dan gak hentinya selalu punya cerita setiap harinya. Tumbuhlah melalui cerita sob!
No comments:
Post a Comment