“Menurutmu gadis mana yang tidak sedih melihat lelakinya menerima surat dari wanita lain?” Anya menatap Widya dengan mata berkaca-kaca, bahkan untuk menangis pun wanita ini tidak sudi, coba kita lihat sampai kapan dia mampu menahan gejolak diri untuk menangis.
“Memangnya sudah dipastikan itu dari wanita idaman lain?” Widya mencoba bersikap bijak, Anya memalingkan wajahnya
“Surat yang terlalu indah untuk dikatakan bukan dari wanita lain”, Anya menjawab mantap, Widya menghela nafas. Sudah sekian kali sahabat karibnya, Anya mengajukan keraguan terhadap suaminya. Suami yang amat dicintainya itu dan entah karena saking cintanya hingga dibutakan keraguan yang bahkan tidak bisa diungkapkan dengan jujur terhadap suaminya itu.
“rasional sedikit bisa? Dijaman serba modern begini, kenapa tidak lewat media sosial saja?” untuk kesekian kalinya Widya menyadarkan Anya untuk lebih mencari lebih detail mengenai surat mencurigakan itu.
“mungkin saja dia mencoba romantis”, Anya mengelak, Widya menghela nafas.
Setiap bulan, tanggal 10. Seperti tagihan uang sekolah anak-anak pada umumnya, namun istri dengan perkawinan seumur jagung yang duduk didepan Widya selalu menghampirinya dan mengeluhkan keraguan yang seperti tidak ada ujungnya itu.
Anya terlalu takut mengutarakan keraguannya kepada Ivan, suami yang amat diidolakannya itu, namun segala keraguan setiap tanggal 10 itu dirasa Widya sudah membuat depresi sahabat karibnya.
“Nya, rasional sedikit, cari lebih teliti dan bertanyalah langsung kepadanya. Bisa?” Widya mencoba membujuk kembali, takut Anya menjadi kalap dan malah memutuskan hal yang tidak-tidak. Widya paham betapa sayang Ivan pada Anya, Widya juga paham bagaimana Anya sebegitu gigihnya melindungi hubungannya dengan Ivan hingga keretakan-keretakan kecil dalam keluarga mereka tidak disadari oleh Anya sendiri. Widya pun paham bila ternyata Ivan berselingkuh, meski Widya tau Ivan tidak akan melakukannya, itu semua didasari oleh ketidakjujuran dalam hubungan yang mereka bangun. 3 tahun berpacaran, 5 tahun dalam hubungan menikah, belum mempunyai anak dan kini dilemma mengenai surat misterius yang ditemukan Anya setahun yang lalu. Dengan cap pos dari New York, dikirimkan setiap tanggal 10. Wanita mana yang tidak menjadi kalang kabut, tapi Anya terlalu bersabar untuk hal-hal seperti ini.
“Aku tidak mau bertanya”, Anya kembali mengukuhkan niatnya untuk tidak bertanya, meski Widya tau betul bagaimana gejolak didalam dada Anya, ini tidak baik bagi Anya, terlalu stress hanya akan menaikkan asam lambungnya dan mungkin kandungannya yang memang tidak sehat itu.
Widya sendiri tidak bisa turut campur dalam urusan rumah tangga mereka, Widya sebagai seorang istri juga paham bahwa ada batasan antara bersahabat ketika lajang dan bersahabat ketika sudah menjadi milik orang. Dia hanya bisa mendengarkan dan memberikan saran dalam batasan aman, tidak menginterupsi secara berlebihan apalagi nyata pada kedua belah pihak selama tidak dibutuhkan.
Anya menghela nafas kembali, kepulan teh melati yang dipesannya sudah lama menghilang terbawa hembusan nafas panjangnya. Seringkali dia berfikir apa kekurangannya sehingga suaminya bisa memperlakukannya begitu, dia memang belum tau betul siapa pengirim surat itu, kenapa beralamat di New York sana, negeri paman sam yang bahkan memakan waktu berhari-hari untuk kesana. Tapi Anya sebagai seorang perempuan mengerti bahwa isi surat yang bernada ceria itu pasti dikirim oleh seorang wanita, wanita dalam konteks sepenuhnya bukan wanita yang dianggap adik, kakak atau sepupu tapi sesungguhnya wanita dan itu menjadikan Anya tersudut.
Kenyataan bahwa di usia perkawinan 5 tahun dan belum ada suara tawa anak membuat Anya makin depresi, Ivan dan Anya adalah anak tunggal, tentulah kalian tau bagaimana beratnya harapan dari kedua belah pihak keluarga untuk segera menimang dan menyayangi.
“Aku perlu waktu sendiri..” setelah lama hening Anya mengucapkan hal itu lalu pergi begitu saja meninggalkan Widya, saat ini Widya tidak bisa mengejarnya, terlalu beresiko menganggunya dalam keadaan kalut begitu.
~.~.~.~
“Apa hubungan kalian masih renggang juga?” Tanya Ratri pada Ivan, melihat Ivan hanya menopang dagu, menatap layar televisi namun dalam pandangan kosong begitu. Ivan sedang di pantry, dia mencoba menghindari banyak pandangan, mencoba menghindari sekretaris yang mengejar-ngejarnya untuk susun ulang jadwal rapat. Ivan sedang ingin sendiri.
“ya begitulah, aku makin tidak mengerti dengan kalian para wanita” ucap Ivan,
“Kalau wanita sebegitu mudahnya dimengerti, aku tidak akan cepat beruban begini bung”, Eko menimpali.
“Dan ada baiknya bukan cuman mengeluhkan wanita sulit dimengerti, tanyakan padanya” Ratri menyambung,
“Aku sudah tanya ratusan kali dan hanya dijawab dengan hal-hal yang berputar, ini seperti aku mengutak atik codingan, bedanya codingan aku pasti menemukan jawaban, tapi dengan wanita satu ini aku sama sekali tidak mengerti” Ivan membalas sambil mendesah, urusan wanita ini memang merepotkan tapi bila tidak diselesaikan dia pun akan susah
Eko memainkan gelas yang berisi kopi, seorang rekan kerja yang setia menghuni pantry untuk menggoda Ratri, penunggu pantry yang asik diajak curhat. Ivan sendiri orang baru di pantry, sebelumnya dia selalu menghabiskan istirahatnya dengan Anya, entah sekedar minum kopi atau makan siang bersama, yang jelas Kantor Anya yang cuman beda blok dengan kantor Ivan membuat pertemuan mereka lebih mudah. Namun tidak kali ini, rasanya ada tembok besar menghalangi membuat pandangan kedua orang ini menjadi kabur.
“lalu kamu mau apa selanjutnya?” tanya Ratri, Ivan hanya diam
“Jangan melakukan hal yang tidak-tidak”, Eko menyahut, Ivan memandang tajam ke arah Eko.
Eko mengerti bosnya tidak akan melakukan apa yang dipikirkannya, namun apalah yang bisa diputuskan oleh orang depresi seperti Ivan, lelaki yang sudah tidak merasakan kepuasan untuk sentuhan intim dari seorang istri, tidak merasakan bagaimana kepuasan untuk menjadikan dia berbahagia. Anya cantik, seksi dan banyak yang suka. Ivan sendiri tidak terlalu jelek, tapi Eko tau bahwa bosnya itu selalu menepis dengan sekuat tenaga pernyataan Anya berselingkuh darinya, Ivan adalah tipikal pria paling bertanggung jawab yang dikenal Eko, jadi tidak ada salahnya Ivan memandang Eko dengan tajam ketika mengatakan hal itu.
“Aku hanya mengatakan hal yang memang perlu dikatakan disaat situasi begini kok” Eko mengelak tanpa meminta maaf
“Karenanya ini tidak menjadikannya lucu lagi” Ivan yang sempat terpancing emosi mulai mengendalikannya kembali, Ratri menyuguhi Ivan teh beraroma melati, aroma istrinya.
“Setidaknya istrimu tidak lupa untuk nyetok teh melati disini bos” ucap Ratri sekenanya, Anya.. Anya.. panggil Ivan dalam hati, apakah rindumu padaku sebesar rinduku padamu?
Lamunan Ivan dibawanya sampai ke kantor, melihat Ivan sudah masuk ruangan, Selvi sekretaris Ivan ikut masuk. Seperti biasa dengan pakaian agak ketat, rok mini dan dandanan pas Selvi tersenyum sambil berdeham,
“ehm..” Ivan masih tidak sadar akan kehadiran Selvi, dia hanyut akan kenangannya dengan teh melati dan Anya. Andaikata Anya ada disini seperti yang biasa dia lakukan ketika aku sedang menumpuk kerjaan, dengan teh melati di jarinya dan mendendangkan lagu-lagu melayu kesukaannya, tentulah tidak sebosan ini hidupku.
“Pak Ivan..” Selvi kembali memanggil lebih keras, Ivan menatap sebal ke arah Selvi dan memindainya, dia yang buta atau hilang ingatan, rasanya beberapa waktu lalu dia menegur Selvi karena berpakaian terlalu minim.
“Apakah di kantor ini kurang dingin hingga kamu harus berpakaian minim begitu?” Ivan menegur tanpa sungkan, Selvi hanya tersenyum masam
“Bila besok dengan kesadaran penuh aku melihatmu begitu lagi, mungkin aku harus memindahkanmu ke bagian gudang”, Selvi hanya menghela nafas, ini gaya berpakaian yang disukainya, pikirnya ketika beberapa hari belakangan ini dia bereksplorasi dengan gayanya dan bos tidak menegur dia sudah bahagia sekali, tapi ternyata hari ini malah bilang langsung begitu.
“Baik, besok saya akan memakai pakaian yang lebih tertutup. Hijab mungkin bisa juga pak”, Selvi menjawabnya tanpa takut, Ivan memandangnya geli. Selvi dan hijab rasanya ingin tertawa, bagaimana juga dia memang harus merubah gaya pakaiannya, namun kalau langsung berhijab, bisa-bisa dia jadi depresi duluan.
“tidak usah seekstrim itu, baiklah pakai sarung Eko lalu kembali kesini. Ada beberapa hal yang perlu saya diskusikan” Ivan sudah kembali melumer, tidak ada alasan untuk terus mencampuradukkan semua hal disaat perusahaannya yang dia bangun dengan jiwa raganya jadi terbengkalai.
“Sebelumnya ijinkan saya menyampaikan bahwa istri bapak tadi meninggalkan surat”, Ivan langsung menatap Selvi dan segera bangun dari tempat duduknya, setengah berlari dia menggapai surat yang dipegang Selvi.
“pergilah cari sarung”, Ivan melempar kata-kata itu tanpa memandang Selvi, pandangannya kini seutuhnya tertuju pada surat yang kini digenggamannya.
Sungguh menyebalkan kalau surat ini berisi apa yang kupikirkan, permintaan perceraian. Sungguh ini akan sangat menyebalkan. Ivan merobek suratnya dengan perlahan.
Dear dear dear,
Entahlah bagaimana kita menyikapi hal-hal belakangan ini, lebih banyak diamkah, lebih banyak hening atau bagaimana. Yang jelas aku merasakan betapa berat akhir-akhir ini, mungkin berat badanku juga naik? Entahlah..
Aku merasakan betapa kamu jauh dariku, merasakan bagaimana perubahanmu kepadaku, atau aku yang berubah. Ah aku pusing, tidak jelas, tidak merasa sama lagi dengan hatimu.
Aku ini salah apa, kurang apa.. bahkan sampai berpikir begini.
Aku cuman butuh waktu sendiri, butuh ruang untuk diri sendiri.
Jadi, aku putuskan untuk berlibur sejenak. Hanya sejenak hingga aku menemukan jawaban yang ingin aku cari.
Jangan khawatir, tetep stay cool sama perusahaanmu, ini semua tidak ada hubungan sama perusahaan semati ragamu kok, yang jelas aku yang bermasalah disini, butuh ruang dan waktu.
Nb : aku udah pesan ini itu banyak hal ke bibi. Bilang saja aku dinas ke antartika sama mama papa kalo nanya aku kemana. Ok!
Gila.. gila..
Ivan mulai mengucapkan kegilaan pada Anya yang sepertinya asik sekali menulis surat ini. Lagipula mana ada editor fashion ke Antartika emangnya pemotretan.
Ivan kalap hingga sulit berfikir, dia mengambil kunci mobil lalu melesat pergi, Selvi yang sudah memakai sarung hanya bisa melihatnya dengan menggelengkan kepala. Melihat bosnya dalam keadaan seperti itu, berarti dia harus mengosongkan dua hari jadwal dan menumpuk rapat yang seharusnya dilaksanakan ke hari berikutnya. Ini menyebalkan. Selvi menganggur.
Ivan langsung tancap gas menuju rumahnya dikawasan Bintaro. Jalanan Jakarta padat, wajarlah pembangunan Monorail sedang dikejar pemerintah. Ivan mengutuk Jakarta. Ada apa sih dengan semesta? Ivan mulai bertanya. Widya.. tiba-tiba dia teringat Widya.
“Wid..” panggil Ivan melalui telfon yang lebih menyerupai teriakan panik,
“Ivan, kenapa?” nada suara Widya ikutan panik,
“Anya sama kamu?” tanya Ivan
“Tadi iya, sekarang udah enggak” jawab Widya
“Tadinya jam berapa?” Ivan tanya spesifik
“Jam 12.00”, Ivan melirik jam di tangannya, sekarang sudah jam 16.00, sudah lama sekali sejak Widya dan Anya berpisah. Anya kamu kenapa sih, ada apa sih.. Ivan menatap jalanan macet Jakarta, usai Widya menjawab jam ke Ivan, Ivan langsung memutus sambungan telfon.
~.~.~.~
“dimana? Ivan panik” Widya mengirimkan pesan ke Anya, Anya melihatnya bimbang mau membalas atau tidak, kepanikan ini kan Ivan yang buat.
“ke suatu tempat” Anya menjawab sekenanya, di tangannya tergenggam sebuah alamat dan tiket pesawat, dia akan melakukan perjalanan jauh. Widya bilang harus spesifik, Anya tidak mau bertanya pada Ivan karena takut memecah hubungan mereka, Anya akan langsung ke pemilik surat ini, hingga semua akan langsung jelas.
Hal-hal menggantung ini, tidak boleh menggantung aku hidup-hidup.
~.~.~.~
Ivan, Widya, Mario suami Widya kini duduk dalam hening diruang tamu Ivan. Bibi pun berdiri dalam diam. Mereka diam setelah mendengarkan cerita Bibi mengenai Anya dan barang-barangnya.
“Tadi bu Anya pulang dalam keadaan ceria, dia bilang mau kemas barang karna ada perjalanan dinas dari kantor. Barang yang dibawa sedikit, katanya paling cepat dia akan kembali dalam 2 minggu, tapi diusahakan secepatnya. Ibu menulis banyak pesan, bahkan menulis menu untuk 2 minggu kedepan, semuanya makanan kesukaan tuan, ibu sampai menuliskan resep untuk beberapa menu”
Ivan memejamkan matanya, ini apa.. ada apa.. kenapa.. Ivan merebahkan punggungnya keatas sofa. Anya sayang kamu dimana..
Widya menahan cerita mengenai Anya, dia tau tidak baik menyimpannya, namun dia paham bahwa hubungan rumah tangga ini harus diselesaikan mereka berdua. Jika Anya tidak menceritakan ganjalannya, maka Widya tidak boleh menceritakannya sama sekali. Ini semua demi kebaikan mereka.
“Setidaknya kita tau bahwa Anya masih mempertahankanmu Van” jawab Mario menunjuk cincin yang melingkar di jemari Ivan, Ivan lalu berlari ke kamarnya dan dia menyunggingkan senyumnya sedikit.
“Ya, setidaknya dia tidak meninggalkan penanda di meja. Setidaknya ini membuatku lega” ucap Ivan dengan mata layu
“Lakukan saja yang seperti Anya bilang, berkonsentrasilah dengan perusahaanmu, mumpung Anya tidak ada. Bagaimana?” ucap Mario
“Ya apalagi yang bisa kuperbuat, setidaknya sekarang ini aku akan mencoba mencari tau dia pergi kemana” Ivan memijit matanya, dari segala sakit kepalanya akan urusan perusahaan, dia merasa bahwa kehilangan Anya adalah diluar imajinasinya.
Widya dan Mario pulang, Mario sadar bahwa istrinya hanya diam saja daritadi, biasanya dialah yang paling berisik mengenai Anya.
Mario menggenggam tangan Widya, mengerti istrinya menyimpan hal yang belum bisa diceritakannya.
“Jangan cerita sampai tibanya menceritakan, atau mungkin kita bisa saling tukar cerita sambil tukar badan” goda Mario, disambut cubitan Widya, melihat Widya tersenyum membuat Mario sedikit lega, meski dia sama sekali tidak tau apa yang disembunyikan Widya mengenai Anya.
~.~.~
Fix. New York itu dingin apalagi dimusim bersalju. Anya menggerutu, badannya sudah terlalu terbiasa dengan panasnya ibukota Jakarta kini harus dihadapkan dengan musim seperti ini membuatnya agak mual, apalagi dia Jetlag dengan perjalanan panjang. Rasanya semuanya melayang.
Tapi dia tidak boleh menyerah, tujuannya adalah datang-mencari-menemukan-pulang. Anya langsung mencegat taksi dan memintanya mengantarkan ke alamat yang tertera. Ini pertama kalinya Anya pergi ke New York mana sendiri pula, sebelumnya dia selalu bersama Ivan, Widya atau keluarganya ketika berpergian, mengingat Anya mudah sekali sakit. Tapi Anya dengan keinginannya akan menepis rasa sakit itu.
Ting.. tong.. ting.. tong
Anya menemukan alamat rumah yang tidak terlalu sulit itu. Dengan rasa berdebar yang meggelora, Anya menanti.
Seorang gadis berwajah Korea membuka pintu, jadi ini orang yang mengirimkan surat ke suamiku?
Anya yang kaget dengan kecantikan gadis korea itu langsung membalikkan badan lalu berlari, kaget campur takut. Anya berlari justru sekencangnya.
Tunggu, justru aku kesini untuk menemui gadis plastik itu, ucap Anya berhenti mendadak, lalu berbalik arah dan memencet bel kembali.
Gadis plastik itu kembali membuka,
“kenapa anda berlari ketika saya membuka pintu?” tanyanya ramah,
“maaf bila saya menganggu, saya hanya ingin bertanya benarkah alamat disurat ini sama dengan yang ini?” sahut Anya lagi, pemilik tampak berfikir lalu memandang Anya, dilakukan sampai dua kali sampai akhirnya dia puas lalu meminta Anya masuk.
“Jadi kamu ingin bertemu dengan orang yang mengirimkan surat ini?” tanya Kareen, si gadis plastik itu. Aku mengangguk sembari menyesap teh hitam yang ditawarkannya padaku.
“tentu kamu bisa menemuinya”, mata Anya melebar dan senyum dalam melengkung
“tapi tidak sekarang, karena dia sedang pergi ke Brazil dan baru akan kembali satu minggu lagi”, Anya menatapnya tidak percaya, sudah sedemikian dekat dia dengan jawaban itu malah kini harus menunggu kembali.
“Bagaimana?” tanya Kareen, tanpa menunggu jawaban dia menelfon seseorang, berbicara singkat sembari berbisik lalu menatap Anya sebentar.
“Risa bilang bahwa kamu bisa memakai kamarnya. Dia bahkan menawarkan kamarnya padamu” sahut Kareen, membuatku akhirnya menganggukkan kepala. Untunglah aku tidak usah menginap di hotel, setidaknya ini akan membuatku berhemat banyak.
~.~.~.~
“Jadwalkan rapat tertunda hari ini”, Ivan bicara pada Selvi sembari menghela nafas. Selvi hari ini memakai celana panjang meski bajunya masih super ketat hingga terlihat belahan dadanya.
“apa tidak apa-apa?” tanya Selvi, disambut anggukan Ivan.
Ivan menatap Kota Jakarta dari kaca kantornya. New York.. Anya sayang apa yang kamu lakukan disana? Mengapa tidak bersamaku?
~.~.~
Kini banyak hal yang diketahui Anya mengenai teman sekamarnya Kareen, seorang mahasiswi jurusan sastra dan benar dia dari Korea. Sesama dari Negara Asia, maka kita pun merasakan senasib.
Selama seminggu di New York sungguh tidak terasa, Anya diajak berkeliling kota Paman Sam itu, melihat banyak hal dan merasakan lebih banyak lagi.
Dengan cepat mereka akrab karena kegemaran Anya menonton film Korea dan kegemaran Kareen terhadap musik melayu.
Sesekali Anya memandang layar hp nya, melihat Ivan dan Anya sedang berpelukan. Anya rindu Ivan, apa rindu Ivan sebesar rindu Anya?
“suamimu ya?” tanya Kareen melihatku sedih menatap screen hp, aku mengangguk
“apa kalian ada masalah?” tanya Kareen lebih lanjut,
“ya masalah yang harus segera diselesaikan”, jawabku dengan muka sedih hingga Kareen tidak berani menanyaiku lebih lanjut
“hubungan dan masalah itu tidak bisa dipisahkan, hanya kejujuran yang bisa menyatukannya”, Anya menatap dalam Kareen, kata-kata yang keluar begitu saja membuatnya menyadari hal-hal yang seharusnya dia sadari lebih awal. Cinta Ivan dan kejujurannya tidak akan membuat Ivan meninggalkannya.
Matahari New York telah tenggelam, musim dingin menghadang, badai akan segera datang.
“Anya, Risa akan pulang lebih lama, karena pekerjaannya ditambah. Bagaimana? Kamu mau pulang sekarang pun rasanya sulit karena badai akan datang dan semua penerbangan dibatalkan”, Jadi Risa akhirnya berhalangan hadir setelah seminggu dinanti. Semua penerbangan pun dibatalkan, ya sudah mau tak mau aku harus menunggu disini lebih lama lagi.
~.~.~.
“Bapak Eko, tidak bisakah bicara pada Bos untuk tidak bekerja terlalu keras?” sahut Ratri mencemaskan bosnya yang sudah lama tidak turun ke pantry, Eko pun hanya bisa menatap gelas kosong didepannya. Eko sudah berbicara sebisa mungkin, namun Ivan sudah tenggelam dalam pekerjaannya. Hanya satu orang yang bisa membuatnya menoleh dari pekerjaannya dan orang itu malah ada dibenua lain mencari sesuatu yang bahkan tidak dimengerti oleh siapapun.
“Apakah bapak tidak bekerja terlalu keras?” Selvi menyahut, disambut dehaman saja dari Ivan. Ivan mengerti bahwa dia kini berubah menjadi workaholic, tapi bila dia hanya diam, akan depresi dibuatnya menunggu istri yang malah tidak jelas ditunggunya pulang. Sudah lewat dua minggu ini dan sama sekali tidak ada kabar dari Anya. Anya kamu sungguh keterlaluan, batin Ivan.
~.~.~.
“demam, sangat tinggi. Sebaiknya kamu beristirahat” Kareen terdengar khawatir, kasian sekali dia, merawat orang yang baru dikenalnya, sedangkan Anya sendiri sudah seminggu berbaring ditempat tidur seperti orang bodoh. Anya sudah tidak tahan, ini penyakit dicampur kerinduan. Anya ingin memeluk suaminya sekarang, Anya butuh cintanya.
“Kali ini aku harus benar-benar pulang Kareen, bisa pesankan aku tiket?” Risa yang dinanti tak kunjung tiba, hingga sakit mendera pun Anya akhirnya menyerah pada jawaban surat dan lebih memilih mencintai Ivan dengan hati dilandasi kejujuran.
Kareen tak mungkin lagi menolak, Anya sangat keras kepala.
“Aku tidak tau mana yang lebih penting, rindumu atau kesehatanmu, atau malah kesehatanmu dapat sembuh dengan rindumu. Yang jelas tetaplah terjaga sehat dalam perjalanan karena sangat tidak menyenangkan kalau kamu sudah tidak bernyawa” Kareen memberikan wejangan sebelum aku naik pesawat, membuatku tertawa.
“Kareen!” seorang gadis berbadan gempal memanggil Kareen membuatku menoleh ke arah suara itu,
“Risa!” dan mereka berdua berpelukan, Anya memandang mereka bergantian sementara penumpang diminta untuk segera naik ke pesawat
“Anya, tidak ada waktu untuk kita saling bercerita, tapi percayalah pada hatimu. Percayalah pada cintamu” Risa berbicara padaku dengan senyum mengembang. Aku tersenyum, bulir air mata mengalir mengiringi langkahku menuju Jakarta. Apa yang kulakukan hingga aku menyia-nyiakan hati yang dicurahkan hanya untukku.
Apakah sebegitu egoisnya aku hingga tidak menyadari siapa yang Ivan cintai melebihi siapapun.
~.~.~.~
Aku tidak akan melepaskannya, apapun yang terjadi.
Aku akan mengenggamnya dengan erat, meskipun dia tidak suka.
Ivan terpekur dengan pikirannya, dalam kepalanya hanya ada Anya dan kenangannya. Ketika mereka bertemu untuk pertama kalinya, ketika mereka tertawa bersama, menghabiskan 3 tahun dengan cinta main-main, lalu 5 tahun perjalanan cinta mereka dalam janji suci pernikahan. Anya yang manja dan selalu menjaga dirinya, selalu memanjakannya dengan kelucuan dan masakannya.
Ivan mengusap wajahnya, air mata perlahan mengalir dari pipinya. Semua pegawainya sudah pulang, hanya dia tersisa seorang diri. Rumah tanpa Anya rasanya bukan rumah lagi. Kenangan yang menumpuk dirumah itu tidak terasa hangat namun berubah terasa mencekam.
“Tok tok tok..” Ivan bahkan mulai berimajinasi mendengar ada suara Anya yang menirukan suara ketukan pintu
“Tok tok tok..” imajinasi Ivan benar-benar gila
“Tok tok tok..” Ivan mulai menoleh ke arah pintu, Anya.. pikirnya apakah ini nyata atau bayangan
“Aku pulang..” dan Ivan sadar perempuan cantik yang berdiri dipintu kantornya adalah Anya, istri yang amat dicintainya. Ivan segera berlari dari tempat duduknya dan memeluk Anya dengan erat sembari menangis.
“Aku pulang..” Anya kembali mengucapkan hal itu sembari menangis dan kemudian pingsan.
~.~.~.~
“Apa kamu pernah sejahat ini, hilang dan gak ada kabar. Begitu pulang malah jatuh pingsan dipelukanku. Apa kamu pernah setega ini?” Anya mendengar suara Ivan berbisik, tangannya terasa hangat karena digenggam erat Ivan.
“Halo sayang..” sahut Anya lemah, Ivan menatapnya dalam
“Aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi, aku tidak akan membiarkanmu hilang dari pandanganku lagi. Aku akan terus menahanmu” Anya tersenyum lalu menutup matanya kembali. Teriakan Ivan menggema didalam ruangan.
Oh.. Ivan yang malang, atau aku yang malang?
Entahlah..
Ketika tiba di New York, kota yang sama sekali tidak kukenal aku merasa takut dan ragu. Namun aku malah menemukan jawaban tidak terduga.
Percayalah pada hatimu, percayalah pada cintamu. Aku tersadar bahwa setahun ini aku begitu bodoh. Mengapa dengan selembar surat setiap tanggal 10 yang aku tidak pernah tau sampai sekarang dari siapa itu membuatku menutup mata dari kebersamaan kita yang begitu lama, dari cintamu yang begitu dalam. Semuanya tertutup hanya dengan surat setiap tanggal 10 itu. Harusnya aku lebih mempercayai hatiku, lebih mempercayai cintamu. Cinta yang kamu berikan begitu banyak. Cinta yang tidak membutakan. Cinta yang begitu ikhlas. Karena kebodohanku aku mengorbankan nyawa anak kita. Ya sayang, aku mengandung. Ketika aku jatuh sakit di New York, aku baru mengetahui usia kandunganku sudah sebulan, dan karena kebodohan juga fisikku yang lemah akhirnya kamu harus kehilangan aku dan bayi kita.
Maafkan aku dan kebodohanku.
Maafkan aku dan kesalahanku.
Maaf aku harus meninggalkanmu dengan cara seperti ini.
-Anya, kesayanganmu-
I am just wondering, which girl do you think is not sad to see her man receive a letter from another woman? It can be really awful!
ReplyDelete