Entah kenapa setiap langit membawa pesan dalam hujan, selalu teringat mie rebus dalam mangkok dengan asap yang mengepul.
Mengibarkan panji kemerdekaan pada pribadi yang kalah oleh nafsu. Lapar tidak namun hujan yang turun menggiring pada kehangatan yang dibutuhkan.
Katanya pesan dalam hujan itu sering membuat hati menggalau, katanya setiap denting hujan yang bercengkerama dengan atap, aspal, pohon menghasilkan nada-nada yang membuat kita terhanyut.
tik.. tik.. tik begitu bunyinya..
Katanya pesan dalam hujan yang sering membawa kita kepada kenangan masa lalu itu, akibat dari air dan debu yang membasahi tanah, membangunkan aroma tidak biasa.
Hujan selalu menjadi pesan tersendiri dan langit selalu mengantarkannya dengan baik.
Baik hujannya besar ataupun ringan-ringan saja.
Sajalah hujan itu turun apa adanya.
Adanya besar ya besar, adanya kecil ya kecil.
Kecil kemungkinan semuanya menyukai,
Menyukai hujan yang apa adanya.
Saat itu hujan turun dengan begitu derasnya dan semangkok mie dihadapanku mengepulkan asapnya dengan dramatis.
Setiap kenangan mengalun indah didalam kepalaku.
Dalam setiap sruput mie yang begitu menggairahkan. Begitu menggairahkan hingga kenangan itu terus saja berputar, berputar dan tidak ingin berhenti.
Aku yang berhenti, mie ku belum habis dimakan, masih tersisa setengahnya. Aku memutuskan berhenti sejenak dan memandang hujan yang sudah tidak lagi gerimis, hujan berubah menjadi lebih besar dan lebih berangin.
Aku pernah merasakan fase ini, pikirku.
Aku pernah merasakan jatuh terpuruk hingga badai itu membuatku limbung,
Aku pernah merasakan bahwa jatuhku tidak akan bangkit lagi.
Aku merinding dan merasakan bahwa apa yang aku rasakan adalah ketidakberdayaan dalam hidup.
Kenangan yang kukenang semata-mata hanyalah penyejuk dan obat bahagia sesaat yang telah lama ditinggalkan. Begitulah kita membuat jejak kenangan. Kita membuatnya lalu mengenangnya disaat yang dibutuhkan.
Kita tidak tinggal dalam kenangan itu, namun mengetahui bahwa kita menyukai kenangan itu sungguh menyenangkan.
Pada akhirnya kita pun akan melalukan kenangan kenangan itu lagi ke depannya, setiap langkah yang ditapaki, setiap nafas yang dihembus, setiap mata memandang, maka kita ingin melakukannya lagi dan lagi.
Maka kita akan membuat kenangan itu kembali agar bisa dibangkitkan kala sedih menghinggap.
Aku tau bahwa mie ku akan segera dingin bila tidak dimakan sekarang, hujan masih belum juga berhenti.
Namun aku telah memutuskan berhenti. Aku pun berhenti. Kusingkirkan mangkuk itu, kubuka jendela rumahku, kujulurkan tanganku keluar dan aku mulai mencicip air hujan yang sudah tercampur polusi itu.
Karena ciptaan agung Tuhan tiada duanya, karena kematianku sudah diatur olehnya.
Aku hanya bisa berbuat lebih baik tiap harinya, aku hanya bisa membuat jejak kenangan itu.
Aku hanya selalu penasaran apa yang bisa kulakukan untuk esok hari.
Mengibarkan panji kemerdekaan pada pribadi yang kalah oleh nafsu. Lapar tidak namun hujan yang turun menggiring pada kehangatan yang dibutuhkan.
Katanya pesan dalam hujan itu sering membuat hati menggalau, katanya setiap denting hujan yang bercengkerama dengan atap, aspal, pohon menghasilkan nada-nada yang membuat kita terhanyut.
tik.. tik.. tik begitu bunyinya..
Katanya pesan dalam hujan yang sering membawa kita kepada kenangan masa lalu itu, akibat dari air dan debu yang membasahi tanah, membangunkan aroma tidak biasa.
Hujan selalu menjadi pesan tersendiri dan langit selalu mengantarkannya dengan baik.
Baik hujannya besar ataupun ringan-ringan saja.
Sajalah hujan itu turun apa adanya.
Adanya besar ya besar, adanya kecil ya kecil.
Kecil kemungkinan semuanya menyukai,
Menyukai hujan yang apa adanya.
Saat itu hujan turun dengan begitu derasnya dan semangkok mie dihadapanku mengepulkan asapnya dengan dramatis.
Setiap kenangan mengalun indah didalam kepalaku.
Dalam setiap sruput mie yang begitu menggairahkan. Begitu menggairahkan hingga kenangan itu terus saja berputar, berputar dan tidak ingin berhenti.
Aku yang berhenti, mie ku belum habis dimakan, masih tersisa setengahnya. Aku memutuskan berhenti sejenak dan memandang hujan yang sudah tidak lagi gerimis, hujan berubah menjadi lebih besar dan lebih berangin.
Aku pernah merasakan fase ini, pikirku.
Aku pernah merasakan jatuh terpuruk hingga badai itu membuatku limbung,
Aku pernah merasakan bahwa jatuhku tidak akan bangkit lagi.
Aku merinding dan merasakan bahwa apa yang aku rasakan adalah ketidakberdayaan dalam hidup.
Kenangan yang kukenang semata-mata hanyalah penyejuk dan obat bahagia sesaat yang telah lama ditinggalkan. Begitulah kita membuat jejak kenangan. Kita membuatnya lalu mengenangnya disaat yang dibutuhkan.
Kita tidak tinggal dalam kenangan itu, namun mengetahui bahwa kita menyukai kenangan itu sungguh menyenangkan.
Pada akhirnya kita pun akan melalukan kenangan kenangan itu lagi ke depannya, setiap langkah yang ditapaki, setiap nafas yang dihembus, setiap mata memandang, maka kita ingin melakukannya lagi dan lagi.
Maka kita akan membuat kenangan itu kembali agar bisa dibangkitkan kala sedih menghinggap.
Aku tau bahwa mie ku akan segera dingin bila tidak dimakan sekarang, hujan masih belum juga berhenti.
Namun aku telah memutuskan berhenti. Aku pun berhenti. Kusingkirkan mangkuk itu, kubuka jendela rumahku, kujulurkan tanganku keluar dan aku mulai mencicip air hujan yang sudah tercampur polusi itu.
Karena ciptaan agung Tuhan tiada duanya, karena kematianku sudah diatur olehnya.
Aku hanya bisa berbuat lebih baik tiap harinya, aku hanya bisa membuat jejak kenangan itu.
Aku hanya selalu penasaran apa yang bisa kulakukan untuk esok hari.
No comments:
Post a Comment