Pagi itu mentari bersembunyi dari pemiliknya, enyah dari hadapan, tertutup oleh awan gelap. Aku pun sampai takut menyapa awan yang telah tertatih menahan berat tubuhnya sendiri, hendak menumpahkan namun belum saatnya.
Aku memandang ke langit dari depan pagar rumah yang telah kututup rapat, menjaga agar tidak ada yang asing menghantui rumahku. Aku sedang apa tadi? ah iya memandang langit. Bahkan ketika aku berfikir dan masih melakukannya aku masih menyukai lupa dan memilih untuk meninggalkan yang tidak layak kuingat.
Aku memandang langit dan kulihat hujan akan segera mampir membuatku urung melakukan perjalanan lambat dan memilih untuk cepat, memakai pintu Doraemon kalo perlu, namun itu hanyalah khayalan untuk saat ini.
Aku menaiki si roda dua yang telah berbalut lumpur dan masih enggan kubersihkan, tidak bukan karena aku tidak menyayanginya namun lebih kepada waktuku yang telah habis hanya untuk merayu indra diri mencumbu tuts-tuts pada keyboard hingga menghasilkan serangkaian kata. Ah, apakah aku sedang menggunankan kesenanganku sebagai alasan? tentulah tidak baik, maka untuk tidak membuat alasan lebih jauh lagi aku jujur saja dengan mengatakan bahwa kemalasan sedang menjadi tuanku dan rasa rajin tertelan dalam pekerjaan yang sedang kulakukan.
Aku melewati jalan yang biasanya kulewati, bertemu pandang dengan para pekerja yang juga berangkat, menabrak waktu untuk sampai tujuan sesegera mungkin. Aku juga bertemu dengan beberapa pelajar yang memiliki jarak sekolah yang cukup jauh, tentunya bakti sebagai murid jauh lebih penting daripada jarak rumah sekolah ya hingga mereka berkejaran dengan para pekerja yang hendak masuk kerja. Aku sering sekali melihat para pelajar itu tidak menggunakan alat pengaman diri, mungkinkah sebenarnya mereka dididik menjadi seorang pahlawan super? ya, mungkin saja.
Angin seperti biasa, menabrak tubuhku tanpa ampun, membuat tengkukku menggigil dan hendak meraung, rasa lelah pada tengkuk seringkali menjadi suatu fase dimana aku tersadar bahwa angin telah begitu merasuk kedalam bagian diriku yang lebih dalam.
Pagi ini ramai sekali, suara knalpot saling adu menderu, tiada ampun bagi telinga kami yang sensitif. Ya, semua kendaraan berhenti pada satu waktu. Bisa kulihat senyum sinis dari balik kaca mobil, dengan enggan membuka jendela dan mulai membakar racun. Bisa kulihat para supir dan kenek truk akhirnya mencoba memejamkan mata menunggu klakson dari para pengendara roda dua yang tidak sabaran dan ditekan oleh waktu. Bagiku ini pemandangan yang biasa, namun waktu lah yang membuatnya tidak biasa. Seperti mereka, aku memandang jam yang terpajang manis ditanganku dan merubah wajahku menjadi khawatir. Ini semua karena euforia kemacetan. Membuat semuanya menjadi bersemangat untuk cemas dan khawatir, menjadikan semuanya terbawa dalam arus waktu yang membunuh.
Lama kelamaan bukan hanya suara mesin yang saling bertengkar, suara-suara keluhan makin kian terdengar. Yang tidak sabar biasanya langsung berbalik dan mencari jalan pintas, yang terjebak ditengah hanya bisa pasrah dan berdoa kepada Tuhan agar tidak terlambat. Aku hanya memandang riuhnya pepohonan dan mereka yang tidak sabaran, mengklakson dengan penuh semangat bagai pejuang. Mencari sesuap nasi dari gaji yang tidak seberapa.
Aku memandang ke langit dari depan pagar rumah yang telah kututup rapat, menjaga agar tidak ada yang asing menghantui rumahku. Aku sedang apa tadi? ah iya memandang langit. Bahkan ketika aku berfikir dan masih melakukannya aku masih menyukai lupa dan memilih untuk meninggalkan yang tidak layak kuingat.
Aku memandang langit dan kulihat hujan akan segera mampir membuatku urung melakukan perjalanan lambat dan memilih untuk cepat, memakai pintu Doraemon kalo perlu, namun itu hanyalah khayalan untuk saat ini.
Aku menaiki si roda dua yang telah berbalut lumpur dan masih enggan kubersihkan, tidak bukan karena aku tidak menyayanginya namun lebih kepada waktuku yang telah habis hanya untuk merayu indra diri mencumbu tuts-tuts pada keyboard hingga menghasilkan serangkaian kata. Ah, apakah aku sedang menggunankan kesenanganku sebagai alasan? tentulah tidak baik, maka untuk tidak membuat alasan lebih jauh lagi aku jujur saja dengan mengatakan bahwa kemalasan sedang menjadi tuanku dan rasa rajin tertelan dalam pekerjaan yang sedang kulakukan.
Aku melewati jalan yang biasanya kulewati, bertemu pandang dengan para pekerja yang juga berangkat, menabrak waktu untuk sampai tujuan sesegera mungkin. Aku juga bertemu dengan beberapa pelajar yang memiliki jarak sekolah yang cukup jauh, tentunya bakti sebagai murid jauh lebih penting daripada jarak rumah sekolah ya hingga mereka berkejaran dengan para pekerja yang hendak masuk kerja. Aku sering sekali melihat para pelajar itu tidak menggunakan alat pengaman diri, mungkinkah sebenarnya mereka dididik menjadi seorang pahlawan super? ya, mungkin saja.
Angin seperti biasa, menabrak tubuhku tanpa ampun, membuat tengkukku menggigil dan hendak meraung, rasa lelah pada tengkuk seringkali menjadi suatu fase dimana aku tersadar bahwa angin telah begitu merasuk kedalam bagian diriku yang lebih dalam.
Pagi ini ramai sekali, suara knalpot saling adu menderu, tiada ampun bagi telinga kami yang sensitif. Ya, semua kendaraan berhenti pada satu waktu. Bisa kulihat senyum sinis dari balik kaca mobil, dengan enggan membuka jendela dan mulai membakar racun. Bisa kulihat para supir dan kenek truk akhirnya mencoba memejamkan mata menunggu klakson dari para pengendara roda dua yang tidak sabaran dan ditekan oleh waktu. Bagiku ini pemandangan yang biasa, namun waktu lah yang membuatnya tidak biasa. Seperti mereka, aku memandang jam yang terpajang manis ditanganku dan merubah wajahku menjadi khawatir. Ini semua karena euforia kemacetan. Membuat semuanya menjadi bersemangat untuk cemas dan khawatir, menjadikan semuanya terbawa dalam arus waktu yang membunuh.
Lama kelamaan bukan hanya suara mesin yang saling bertengkar, suara-suara keluhan makin kian terdengar. Yang tidak sabar biasanya langsung berbalik dan mencari jalan pintas, yang terjebak ditengah hanya bisa pasrah dan berdoa kepada Tuhan agar tidak terlambat. Aku hanya memandang riuhnya pepohonan dan mereka yang tidak sabaran, mengklakson dengan penuh semangat bagai pejuang. Mencari sesuap nasi dari gaji yang tidak seberapa.
Jalanan.. Kemacetan.. Sifat manusia.
Pada akhirnya aku berfikir bahwa kemacetan bisa menjadi selimut yang membuat gerah. Pada akhirnya aku melihat tidak ada lagi orang sabar dijalanan yang mempersilahkan yang lain duluan, karena bila begitu hanya waktu yang siap mengancam.
Emang bisa bikin gila macet itu ya. Apalagi orang Jakarta. Buset deh. :/
ReplyDeletebikin gerah juga~
Deleteuntung gue orang bekasi B)
untung di rumah nggak ada macet, hihi~ jadinya aman deh,
ReplyDeletelombok ._.
DeleteSelalu begitu tiap harinya :)
ReplyDeleteakankah kita merindukannya bila tak datang kembali hal itu?
DeleteWaktu temen-temenku yang dari Jakarta, Bandung dan sekitarnya main ke Pontianak, mereka pada bilang gini: "Pontianak asyik banget ya, gak macet." :)
ReplyDeletekarena jalanan lancar sama dengan rasa syukur yang nikmat
DeleteBisa sih, mempersilakan orang lain duluan, masalahnya kita kan suka ikut-ikutan dan nyuruh hal yang sama. entar malah makin mact. "Silakan duluan, Kak!" "kamu aja dulu" "kamu aja." "kamu aja."
ReplyDeletewoii macetnya gak kelar-kelar ntar, takutnya ditambah tumbuhnya benih-benih asmara lagi :v
DeleteMacet biasanya nambah parah ketika semua orang gak sabaran, main dulu-duluan, serobot sini serobot sana. Kalo udah gini, kesabaran yang diuji :D
ReplyDeletenah jalanan itu sama dengan sabar dengan batas :v
Delete